Sumber: KONTAN | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Tak semua industri menghasilkan limbah yang ramah lingkungan. Karena itu, pemerintah melakukan kategorisasi. Kini sudah ada 25 industri yang masuk dalam kelompok penghasil limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Otomatis, mereka mendapat perlakuan dan pengawasan khusus.
Itu adalah ketetapan Departemen Perindustrian (Depperin) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 71/M-IND/PER/7/2009. Ketentuan ini berlaku sejak 6 Juli 2009 lalu. Salah satu bentuk perlakuan khusus terhadap 25 industri ini adalah proses perizinan yang lebih ketat. Kewenangan pemberian izin usaha industri (IUI), izin perluasan, dan Tanda Daftar Industri (TDI) langsung menjadi wewenang Depperin.
Sebagai perbandingan, kewenangan perizinan industri yang tak mendapat kewenangan khusus berada di Gubernur atau Bupati/Walikota. Depperin akan meninjau kategori industri penghasil B3 ini secara berkala setiap dua tahun.
Ke-25 jenis industri itu antara lain industri pulp, pembuatan minyak pelumas, pengolahan bahan bakar nuklir, industri kimia dasar anorganik, media rekaman, kimia dasar anorganik yang bersumber dari hasil pertanian, bahan baku zat warna dan pigmen. Kemudian kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi, gas dan batu bara, pupuk buatan, resin sintetis, dan bahan baku plastik.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), M Mansyur, penetapan ini bisa menggangu bisnis mereka. Contohnya, jika produk pulp lokal masuk ke pasar ekspor, akan muncul kekhawatiran dari pembeli bahwa produk Indonesia menghasilkan limbah B3. "Padahal kami tidak menghasilkan B3," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













