kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

3 Teknologi Separasi Gas Alam dengan Co2 dari Shell


Kamis, 05 Maret 2009 / 08:28 WIB


Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Royal Dutch Shell Plc tengah mengembangkan tiga teknologi separasi gas alam dengan karbondioksida (Co2). Teknologi tersebut dikembangkan di tiga negara berbeda dan diharapkan siap digunakan untuk kepentingan komersial pada 2011.

Bill Spence, Vice President Future Fuels and Co2 Shell menjelaskan ketiga teknologi tersebut adalah Cyrocell yang dikembangkan di Australia. Teknologi ini memadatkan gas terkontaminasi yang disedot dari dalam bumi lalu memisahkan gas alam dengan Co2 yang terkandung bersamanya.

Ada juga teknologi Sapo Membrane yang membekukan gas terkontaminasi tersebut untuk kemudian dipisahkan. Teknologi tersebut dikembangkan di Houston, Amerika Serikat. Terakhir teknologi bernama C3SEP (Condensed, Contaminant, Centrifugal, Separation) yang mengubah gas menjadi likuid sebelum dipisahkan. C3SEP dikembangkan di Amsterdam, Belanda.

"Pada umumnya kami menyedot gas terkontaminasi lalu dimasukkan ke dalam tempat pengolahan dan memisahkan Co2 dengan gas alamnya. Lalu melalui pipa kami injeksikan lagi Co2 ke dalam sumur untuk mengangkat gas alam nya lagi," kata Bill, Rabu (4/3). Shell menargetkan, teknologi separasi gas terkontaminasi yang dimilikinya bisa mencapai 30% gas alam dan 70% kandungan Co2.

Menurut Bill, Shell sudah berpengalaman dalam eksplorasi dan eksploitasi lapangan gas yang mengandung Co2 sejak 40 tahun lalu. Pemisahan Co2 dengan gas alam yang pertama dilakukan Shell di cekungan Permian, Amerika Serikat di awal 1970an. Saat ini Shell sedang mengerjakan proyek pengeboran di Oman yang ketika saatnya operasi nanti kadar Co2 nya akan ditekan sampai 50%.

Di hampir seluruh lapangan migas yang digarap perusahaan asal Belanda tersebut, Bill menjelaskan selalu melibatkan mitra lokal. "Biasanya partner yang memiliki reservoirnya dan kami implementasikan teknologi kami. Tetapi kami keberatan kalau harus bermitra dengan perusahaan besar pesaing kami," kata Bill.

Di Indonesia sendiri, Shell menjadi salah satu calon mitra PT Pertamina (Persero) dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi blok yang mengandung cadangan gas alam cukup besar yaitu Natuna D Alpha. Blok tersebut juga diketahui memiliki kandungan Co2 yang besar. Shell bersaing dengan tujuh perusahaan lain untuk menarik hati Pertamina.

Menurut Presiden Direktur Shell Indonesia Darwin Silalahi dengan teknologi yang dimiliki Shell dalam memisahkan Co2, dapat meningkatkan produksi gas alam sebanyak 35% dibanding menggunakan teknologi pemisahan biasa. "Kalau memproduksi gas lebih banyak, maka belanja modalnya lebih kecil. Karena sumur yang dibangun untuk menginjeksikan Co2 untuk mendorong gas alamnya ke atas lebih sedikit," kata Darwin.

Menurut Darwin saat ini Pertamina dan pemerintah sedang menimbang-nimbang perusahaan calon mitra mana yang memiliki teknologi, kemampuan keuangan, dan pengalaman dalam bisnis gas alam yang akan dipilih. "Juga seberapa besar keinginan perusahaan mitra membagi teknologi dan jaringannya untuk Pertamina," kata Darwin.

Saat ini, delapan perusahaan minyak telah mendapat undangan dari Pertamina untuk menjadi mitra strategis pengelolaan Blok Natuna D Alpha. Delapan perusahaan tersebut adalah ExxonMobil Oil Indonesia, Total Indonesie, Chevron, Statoil, Shell, ENI, Petronas, dan China National Petroleum Company (CNPC).

Pertamina sedang meminta para calon mitranya untuk memasukkan angka penawaran dan mencantumkan swap aset yang bisa diberikan kepada Pertamina. Hal ini penting untuk diketahui karena Pertamina membutuhkan teknologi yang mumpuni untuk memproduksi gas blok Natuna D Alpha. Pertamina juga sedang membahas terms and condition blok tersebut dengan pemerintah.

Namun sayangnya, kedua tahap tersebut berjalan lambat. Ketika dikonfirmasi, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menegaskan belum ada perkembangan terbaru dari dua tahapan itu. "Belum," ujarnya melalui pesan singkat.

Tahun lalu, ketika harga minyak sedang melambung pengembangan Natuna D Alpha diperkirakan akan menelan biaya investasi mencapai US$ 52 miliar. Terakhir, nilainya turun menjadi US$ 40 miliar seiring dengan turunnya harga minyak.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×