Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyatakan pihaknya mengkaji setiap kebijakan pemerintah serta akibat dampak yang timbul baik bagi investor maupun pemerintah sendiri. Salah satu yang dikaji ialah Badan Layanan Umum (BLU) Batubara.
Singgih menjelaskan, setelah invasi Rusia ke ke Ukraina, harga batubara meningkat tajam. Tingginya Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia, akibat dua indeks pembentukan HBA yaitu Newcastle Export Index (NEX) dan Globalcoal Newcastle Index (GCNC) terus berada di level tinggi.
Sehingga harus diakui, Harga Patokan Batubara (HPB) dengan harga riil kontrak tidak sesuai. Importir, khususnya China dan India, sebagai importir terbesar Indonesia, tidak mau menerima harga HPB yang ditawarkan oleh perusahaan tambang batubara.
Akibatnya sesuai kebijakan yang ada, pemilik tambang harus membayar PNBP sesuai dengan harga tertinggi, yang dalam hal ini atas HPB.
“Namun sebaliknya riil harga kontrak, jauh di bawah harga HPB. Kondisi ini yang mendorong pemerintah akan mengevaluasi kembali terkait dengan formulasi penetapan HBA,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (9/1).
Mengingat pemerintah telah menetapkan indeks harga batubara untuk kelistrikan umum sebesar US$ 70 per ton dan semen/pupuk sebesar US$ 90 per ton, maka terjadi disparitas antara harga di dalam negeri dengan harga ekspor batubara.
Baca Juga: Kementerian ESDM: Implementasi BLU Batubara Direncanakan Tetap di Tahun 2023
Sehingga lanjut Singgih, usulan terbentuknya BLU Batubara, lebih untuk menjaga agar akibat tingginya disparitas harga batubara antara ekspor dan di dalam negeri, tidak menyebabkan terganggunya pasokan batubara di dalam negeri, khususnya untuk kepentingan keandalan kelistrikan nasional.
Demikian juga bagi pelaku usaha, dengan BLU Batubara, perusahaan yang memasok akan mendapatkan tambahan harga dari iuran yang telah terkumpul melalui BLU. Langkah melalui pola gotong royong iuran BLU, untuk mendorong agar perusahaan yang memasok di dalam negeri, khususnya untuk kelistrikan nasional (PLN) masih terus memberikan komitmen pasokannya.
“Komitmen ini dapat terbangun, mengingat perusahaan akan mendapatkan harga tambahan dari alokasi iuran yang telah terkumpul oleh seluruh perusahaan tambang batubara se Indonesia,” ujarnya.
Sehingga menurut Ketua IMEF, BLU bukan saja menguntungkan PLN melainkan juga menguntungkan perusahaan tambang, termasuk juga bagi masyarakat, mengingat dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN menjadi dapat terkontrol atau tetap, selama harga batubara berada pada level yang tinggi.
Singgih menyatakan, BLU dengan pola seperti ini, justru harus didorong mengingat kendala pasokan batubara bagi PLN dapat terjaga dan sekaligus tanpa mengganggu APBN. PLN tetap membayar pada harga US$ 70 per ton, dan disparitas harga tidak memberikan dampak kepada keandalan kelistrikan PLN.
“Dengan pola BLU, justru tetap akan menguntungkan mengingat perusahaan yang memasok ke dalam negeri dengan indeks harga US$ 70 per ton, akan mendapatkan ganti dari iuran yang masuk. Justru BLU sangat ditunggu oleh hampir sebagian besar perusahaan tambang yang memasok batubara di dalam negeri,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News