Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dunia bisnis mengalami pergeseran besar dalam cara perusahaan beroperasi beberapa tahun terakhir, terutama dalam hal rantai pasokan global.
Salah satu konsep yang mulai mendapatkan perhatian adalah green-shoring, sebuah strategi yang menggabungkan prinsip keberlanjutan dengan optimalisasi lokasi rantai pasokan.
Green-shoring merujuk pada praktik mengalihkan produksi dan operasi bisnis ke negara atau kawasan yang lebih dekat, yang memiliki regulasi lingkungan lebih ketat dan infrastruktur yang mendukung praktik bisnis hijau.
Saat ini semakin banyaknya dunia usaha yang beralih ke green-shoring yang berbasis pada prioritas tanggung jawab terhadap lingkungan.
Hal itu disampaikan Anindya Bakrie dalam Milken Asia Summit di Singapura yang digelar pada Rabu (18/9). Ia hadir dalam perhelatan tahunan Milken Institute tersebut sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus sebagai CEO Bakrie Brothers dan Presiden Komisaris VKTR.
Anindya mengatakan, Grup Bakrie sudah menyadari perlunya memindahkan produksi ke daerah yang memprioritaskan tanggung jawab lingkungan yang juga membuka peluang investasi besar terutama di Indonesia.
Baca Juga: Kubu Arsjad Rasjid Beberkan Alasan Pelaksanaan Munaslub Kadin Tidak Sah
“Indonesia memimpin dengan potensi energi terbarukan dari biofuel, solar, dan geothermal dan menargetkan untuk memproduksi 23% energinya dari sumber terbarukan pada tahun 2025,” kata Anindya dilansir dari keterangan resminya, Kamis (19/9).
Namun, ia mengakui banyak tantangan yang dihadapi untuk beralih ke green-shoring. Salah satunya memerlukan investasi signifikan dalam infrastruktur, teknologi hijau, dan kepatuhan ESG (Environmental, Social, and Governance). Sehingga pengembalian investasinya bisa tertunda.
Anindya juga berharap pada pemerintahan Prabowo – Gibran agar bisa memfokuskan programnya hilirisasi critical minerals. Mengingat Indonesia, memiliki banyak critical minerals seperti nikel, tembaga, dan timah, serta potensi energi terbarukan hingga 500 gigawatt.
Seperti diketahui, Anindya ditetapkan sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia periode 2024-2029 melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 14 September 2024 lalu. Namun, kepemimpinan Kadin masih berpolemik, lantaran Arsjad Rasjid selaku Ketua Umum Kadin periode 2021-2026 sesuai hasil Musyawarah Nasional (Munas) VIII menyebut Munaslub tersebut ilegal.
Dalam hajatannya ke Singapura, Anindya juga melakukan wawancara dengan media setempat selaku Ketua Umum Kadin Indonesia. Ia menegaskan bahwa dirinya akan memprioritas tiga program utama dalam memimpin Kadin.
Baca Juga: Dualisme Kadin Bisa Mengganggu Iklim Bisnis
Pertama, meningkatkan kemitraan publik-swasta dan melibatkan banyak BUMN. Kedua, memperluas kerja sama Indonesia dengan dunia internasional mengingat Indonesia membutuhkan banyak kerja sama, investasi dan ekspor.
Ketiga, memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) yang saat ini porsinys sudah sekitar 90% dari perusahaan di Indonesia.
Ia menyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus berlanjut meningkat karena pemerintah baru nanti merupakan kesinambungan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Fokus Pak Prabowo sebagai presiden adalah pada reformasi struktural, infrastruktur digital, dan transisi energi serta peningkatan nilai tambah ekonomi,” ujarnya.
Anindya juga mengaku optimistis bahwa pemerintahan Prabowo – Gibran akan memperkuat perdagangan bebas (FTA) dengan Amerika Serikat. Seban ia Meliha bahwa Prabowo memiliki kesempatan secara geopolitik untuk menunjukkan Indonesia sebagai pemimpin Global South, tak hanya sebagai pemimpin Asia Tenggara, tetapi juga sebagai faktor penyeimbang antara Timur dan Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News