Reporter: Agus Triyono | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengaku saat ini mereka siap untuk menjatuhkan sanksi bagi para eksportir nakal yang tidak mau memarkirkan Devisa Hasil Ekspornya di Indonesia.
Agung Kuswandono, Dirjen Bea dan Cukai mengatakan bahwa saat ini direktoratnya tinggal menunggu aba- aba dari BI, mengenai siapa saja para eksportir yang harus dikenai sanksi. Karena di direktoratnya, saat ini sudah mempunyai database yang lengkap mengenai nama- nama eksportir yang ada di Indonesia.
"Mekanismenya sederhana, bila ada eksportir yang tidak memenuhi kewajibannya, BI akan menyampaikan identitas mereka ke kami dan kami akan proses dengan tidak dilayani ekspornya," kata Agung melalui pesan singkatnya kepada KONTAN Minggu (22/6).
BI, Kamis (21/6) yang lalu mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/20/PBI/2011 yang mewajibkan para eksportir untuk menerima seluruh Devisa Hasil Ekspornya (DHE) melalui bank devisa di Indonesia. Kewajiban tersebut harus mereka jalankan paling lama 90 hari setelah tanggal Pemberian Ekspor Barang (PEB).
Khusus untuk PEB yang dikeluarkan tahun 2012 sendiri kata BI melalui Benny Siswanto, Direktur Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI, DHE wajib diekspor melalui bank devisa dalam waktu paling lama enam bulan setelah PEB diberikan. "Dengan demikian, DHE atas PEB Januari 2012 harus sudah diterima Juli 2012," kata Benny.
Benny mengatakan bahwa ketentuan BI tersebut berlaku efektif mulai 2 Juli 2012 nanti. Kalau sampai dengan batas waktu tersebut para eksportir ternyata masih melakukan pelanggaran, mereka akan terkena sanksi administrasi berupa denda sebesar 0,5% dari nominal DHE yang belum diterima bank devisa dengan jumlah denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 100 juta.
Bagi eksportir yang tidak mau membayar denda tersebut kata Benny, akan dikenakan sanksi berupa penangguhan atas pelayanan ekspor. Sanksi ini akan dilaksanakan oleh BI dengan bekerjasama dengan Ditjen Bea dan Cukai.
Adi Surya, Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) mengatakan bahwa asosiasinya sangat menyambut baik dan karena itu siap menjalankan aturan sanksi yang dikeluarkan oleh BI tersebut. Kesiapan APIKI kata Adi bahkan sudah ada sebelum BI mengeluarkan peraturan tersebut. Sejak Mei lalu katanya, APIKI sudah mengeluarkan surat edaran bagi anggotanya untuk segera melaksanakan aturan yang diterbitkan BI tersebut.
"Kita tidak masalah, kita dukung karena itu memang asalnya dari SDA Indonesia yang kita ekspor, jadi juga harus memberikan manfaat bagi negara juga," kata Adi Minggu (24/6).
Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, justru berpendapat berbeda. Menurutnya, aturan BI tentang kewajiban bagi para eksporter untuk memarkirkan DHE nya di bank dalam negeri justru malah membebani pengusaha.
Beban ini kata Ade utamanya bila dikaitkan dengan tenggat waktu selama 90 hari yang diberikan kepada para eksporter untuk menerima seluruh DHE mereka melalui bank devisa Indonesia. Menurutnya tenggat waktu tersebut terlalu ketat. Jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan negara- negara lain di kawasan ASEAN lainnya yang memberikan tenggat waktu sampai dengan satu tahun.
Ade menambahkan, dari sisi bunga pun, aturan yang dikeluarkan oleh BI tersebut sangat membebani pengusaha khususnya di sektor manufaktur.
"Di sektor manufaktur, kami tidak pernah utang di dalam negeri, kami harus mencari bunga yang murah seperti di Singapura dan negara lainnya untuk bisa kompetitif, ketika ini diberlakukan, bagaimana kami bisa bersaing," kata Ade.
Masalah lain kata Ade soal besarnya biaya transfer yang harus dikeluarkan oleh pengusaha. Menurutnya, ketika aturan BI tersebut diterapkan, itu semua justru akan membebani pengusaha. Pengusaha harus menanggung biaya transfer yang besar, ketika mereka memarkirkan DHE nya ke bank devisa nasional. Begitu juga ketika para pengusaha tersebut harus mengirimkan DHE nya ke bank di luar negeri untuk menjalankan usahanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News