Reporter: Sofyan Nur Hidayat, Monika Novena , Rika | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pengusaha bisnis logistik di Indonesia bisa tersenyum bahagia. Soalnya, bisnis logistik semakin berkembang. Omzet bisnis mereka semakin besar seiring meningkatnya pertumbuhan industri barang dan jasa.
Syarifudin, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia (Asperindo), menghitung total omzet bisnis logistik tahun ini bakal mencapai Rp 9,9 triliun, tumbuh 10% dari tahun 2010. Angka tersebut merupakan asumsi penjualan dari perusahaan jasa ekspres, jasa kurir, dan pos.
"Lebih dari 50% konsumen kami adalah korporat," kata Syarifudin, di sela-sela Logistik Summit, Kamis (10/11). Otomatis, saat industri tumbuh, omzet bisnis logistik pun meningkat.
Catatan saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga triwulan III 2011, produksi industri manufaktur skala besar dan sedang tumbuh 5,6% dari periode sama tahun 2010. Produksi naik, tingkat kesibukan pengiriman barang juga semakin padat. "Bisnis logistik mulai dari proses pengepakan, pergudangan, serta transportasi dari perusahaan sampai tangan konsumen," terang Syarifudin.
Rocky J. Pesik, Direktur DHL Express Indonesia, bilang, tahun ini perusahaannya bakal mengantongi omzet sekitar US$ 100 juta, naik 15% dari 2010. "Industri semakin produktif, omzet kami juga naik, karena lebih dari 80% pelanggan kami dari kelompok korporat," ujar Rocky.
Kendala infrastruktur
RJ Lino, Direktur Utama PT Pelindo II, menambahkan, peningkatan bisnis logistik terlihat dari semakin banyaknya pengiriman barang melalui laut. Menurutnya, 80%-90% pengiriman barang di Indonesia melalui transportasi laut. "Tahun 2009 lalu, volume pengiriman via laut sekitar 400 juta ton, ini akan terus naik menjadi 1.200 juta ton pada tahun 2020," tandas Lino.
Rocky bilang, perkembangan bisnis logistik sebenarnya bisa lebih pesat lagi. Hanya saja, hal itu terhambat kurangnya infrastruktur. "Keterbatasan infrastruktur menyebabkan daya saing kami melemah," kata Rokcy.
Data Asperindo, bisnis logistik Indonesia pada tahun ini turun ke urutan 75 di tingkat internasional, kalah dari Filipina di peringkat 44. Padahal, tahun 2004 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-43.
Penurunan ini karena biaya logistik Indonesia lebih mahal dari negara lain. Catatan Asperindo, biaya logistik Indonesia berkontribusi 17% dari biaya produksi barang.
Padahal, biaya logistik di Jepang hanya 5% dari biaya produksi barang, Filipina 7%, Singapura 6%, dan Malaysia 8%. "Kapasitas pelabuhan yang ada tidak mumpuni, jadi pembangunan pelabuhan Kalibaru sangat perlu," tandas Lino.
Krisman Damanik, Manajer Pengangkutan Laut PT Logistics Indonesia, mengakui, biaya pengapalan di Indonesia sangat mahal. Untuk pengiriman ke Eropa, pihaknya mematok US$ 1.000 per 20 feet.
Alasannya, pengiriman kargo dari Indonesia ke Eropa tidak bisa langsung. Namun, pengiriman itu harus melalui pelabuhan di Malaysia, yang bisa menampung kapal lebih besar.
Arman Yahya, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Bandara Soekarno-Hatta, berkata, pengiriman barang melalui udara juga terhambat kebijakan agen inspeksi atau regulated agent.
Biaya agen pemeriksaan kargo domestik Rp 350 -Rp 450 per kilogram (kg), sedangkan kargo internasional isunya akan sebesar Rp 450 per kg. "Di Thailand dan Jepang gratis," keluh Arman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News