Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pulp dan kertas di Tanah Air diproyeksikan tumbuh signifikan di semester II tahun ini. Pasalnya, data menunjukkan bahwa volume ekspor pulp dan kertas pada semester I-2023 meningkat dibandingkan dengan semester I-2022.
Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengatakan, peningkatan ekspor tersebut adalah sebesar 17% untuk pulp, 12% untuk kertas, dan 12% untuk kertas daur ulang.
Di sisi lain, kata Liana, terjadi penurunan impor kertas sebesar 19% di semester I 2023. Namun impor pulp dan kertas daur ulang justru naik 5% dan 6%.
"Ini menunjukkan bahwa industri di dalam negeri semakin efisien dan kompetitif," kata Liana kepada Kontan.co.id, Selasa (29/8).
Baca Juga: Kinerja Turun, Simak Prospek Indah Kiat (INKP) dan Tjiwi Kimia (TKIM) di Semester II
Liana menerangkan, industri pulp dan kertas di Indonesia memang memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang.
Saat ini, ada sekitar 82 perusahaan pulp dan kertas yang beroperasi di berbagai wilayah di Indonesia, menunjukkan diversifikasi dan kapasitas produksi yang mengesankan.
Bahan baku utama industri ini, yang disokong Hutan Tanaman Industri (HTI), tersedia dengan cukup melimpah. Selain itu, konsumsi kertas per kapita di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju, menunjukkan adanya ruang yang cukup besar untuk pertumbuhan di pasar domestik.
Kendati memiliki potensi yang besar, industri ini juga menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Sejak diberlakukannya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada 2 Januari 2023, industri kertas di Indonesia menghadapi tantangan serius dalam bentuk persaingan yang tidak seimbang.
Liana menyampaikan, produk kertas dari Tiongkok dapat memasuki pasar Indonesia dengan tarif nol persen, sementara produk serupa dari Indonesia dikenai tarif sekitar 5-7% ketika di ekspor ke Tiongkok.
"Ini menimbulkan urgensi untuk diskusi bilateral antara Indonesia dan Tiongkok guna menciptakan kondisi perdagangan yang lebih adil," ujar Liana.
Liana menambahkan, hambatan dari Uni Eropa lantaran Uni Eropa telah mengimplementasikan beberapa regulasi yang mempengaruhi industri ini, termasuk regulasi anti-deforestasi dan pengiriman limbah.
Hal ini, lanjut Liana, memerlukan investasi tambahan dari perusahaan di Indonesia untuk memenuhi standar yang ditetapkan, sehingga menambah beban operasional.
Sementara itu, tantangan dari domestik, kebijakan retensi devisa hasil ekspor sebesar 30% menjadi tantangan tersendiri. Kebijakan ini membuat perusahaan harus menahan sejumlah besar dana dalam mata uang asing yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan operasional, seperti pembelian bahan baku dan pembayaran gaji.
Baca Juga: Investasi Hilirisasi Pulp, Menteri Bahlil Tinjau Progres Pabrik Kemasan RAPP di Riau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News