Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis perusahaan rintisan atau startup dianggap masih punya potensi untuk tumbuh, meski tantangan terkait investasi dan pendanaan menghadang.
Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, sepanjang tahun ini bisnis startup mengalami kenaikan dari sisi gross merchandise value (GMV). Namun, pertumbuan GMV di sektor e-commerce dan online transport & food cenderung melambat.
Merujuk riset Google, Temasek, dan Bain & Company belum lama ini, nilai GMV e-commerce tercatat sebesar US$ 62 miliar pada 2023 atau tumbuh 7% dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, pertumbuhan GMV e-commerce pada 2022 dibandingkan 2021 mencapai 20%.
Sementara itu, nilai GMV sektor transport & food justru turun 8% pada 2023 menjadi US$ 7 miliar. Pada 2022, sektor tersebut memiliki nilai GMV sebesar US$ 8 miliar atau naik 15% dari tahun 2021.
Baca Juga: Jadi Negara Maju di 2045, Airlangga: Target Ambisius Tapi Realistis
Kondisi berbeda dialami oleh startup bidang online travel yang mengalami pertumbuhan GMV sebanyak 68% menjadi US$ 6 miliar pada 2023. Pertumbuhan tahunan GMV online travel juga mencapai 69% pada 2022.
“E-commerce ternyata sudah memasuki masa ‘normal’ dengan pertumbuhannya yang tidak lagi masif,” kata Huda, Jumat (15/12).
Dari situ, perlu suatu dorongan untuk meningkatkan transaksi di startup-startup e-commerce. Salah satunya melalui berbagai inovasi layanan seperti live shopping, sehingga dapat mendongkrak minat masyarakat untuk berbelanja melalui e-commerce.
Huda juga menyebut, terdapat penurunan proyeksi GMV ekonomi digital Indonesia berdasarkan riset Google pada 2025 dari US$ 130 miliar menjadi hanya US$ 109 miliar. Hal ini patut dicermati oleh para pengusaha startup di berbagai bidang industri.
Penurunan proyeksi GMV tersebut tidak lepas dari investasi ke sektor digital Indonesia yang cenderung terus menurun. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan kembali mengalami tren pertumbuhan yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun mendatang.
“Investasi di startup juga kemungkinan akan kembali ke posisi normal,” imbuh Huda.
Baca Juga: Ekonomi Digital Berpotensi Jadi Jalan Keluar dari Jebakan Middle Income Trap
Dia melanjutkan, tren suku bunga acuan tinggi dapat menjadi faktor yang membuat para venture capital di seluruh dunia menghemat dana. Mereka berhemat dengan melakukan penempatan dana ke platform digital secara selektif.
Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan venture capital akan mendanai startup yang tidak terlalu lama merugi atau minimal sudah memiliki roadmap untuk bisa keluar dari kondisi rugi. Venture capital juga cenderung memilih startup yang memiliki value berbeda dengan startup-startup lainnya.
Dampak dari penghematan tersebut tentu saja mengganggu iklim startup di Indonesia yang sebenarnya dalam dua tahun terakhir mengalami pertumbuhan. Pendanaan yang seret membuat operasional maupun strategi bakar-bakar uang sulit dilakukan.
Bagi startup lama, salah satu exit strategy yang dapat dilakukan adalah melalui Initial Public Offering (IPO), sehingga mereka bisa memperoleh dana segar. Bagi startup pendatang baru, mau tidak mau mereka harus tetap berupaya mencari angel investor untuk mendanai bisnisnya.
“Dampak lain dari masalah pendanaan ini adalah semakin menurunnya minat masyarakat untuk mengembangkan startup. Dengan minimnya pendanaan, sulit bagi startup untuk bisa bertahan,” terang dia.
Walau begitu, Huda meyakini masih ada beberapa peluang bagi startup untuk memperoleh pendanaan, sehingga memunculkan unicorn baru dalam waktu dekat. Dia memprediksi, startup yang menjadi intermediasi dari sektor digital ke sektor riil bakal memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan terus tumbuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News