Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) akan mereview harga gas domestik. Selama ini harga gas domestik masih rendah sehingga harus disubsidi oleh harga gas ekspor.
Deputi Pengendali Operasi BP Migas Rudi Rubiandini menuturkan, selama ini harga gas domestik masih jauh di bawah harga keekonomian. Padahal, dengan kenaikan harga gas akan mampu mendongkrak penerimaan negara. "Kalau harga tidak naik, meski volume produksi gas digenjot, tidak akan berpengaruh terhadap penerimaan negara," ujarnya.
Rudi menghitung, saat ini harga rata-rata gas (harga gas domestik dan ekspor) sebesar US$ 7,54 per mmbtu. Dengan harga gas tersebut, penerimaan negara sekitar Rp 28,69 triliun. Namun, jika harga gas naik menjadi US$ 8,04 per mmbtu, maka penerimaan negara bisa menjadi Rp 29,513 triliun. Kalau harga rata-rata gas US$ 11 per mmbtu, pendapatan negara bisa mencapai Rp 34,2 triliun.
Menurut Rudi, harga gas domestik yang sangat murah seringkali menyebabkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sektor migas enggan mengembangkan lapangan gas untuk memenuhi pasar domestik. "Gimana mau pasokan terus kalau harganya murah. Sementara di hulu sudah banyak investasi," imbuhnya.
Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gde Pardnyana menyebut, harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60% lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata gas domestik. Industri dalam negeri memperoleh subsidi harga sebesar Rp 40 triliun per tahun.
Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$ 10 hingga US$ 11 per mmbtu. Sementara haga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$ 4 hingga US$ 4.5 per juta British thermal unit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News