Reporter: Andri Indradie, Cindy Silviana Sukma | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Nur Pamudji menarik napas sejenak, terkesan sebagai sebuah jeda dan ancang-ancang agar dia siap menerangkan satu hal penting. Akhir September 2012, perusahaan yang dia pimpin, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), merugi sekitar Rp 9,55 triliun gara-gara fl uktuasi kurs rupiah.
Kerugian ini menyebabkan pencapaian target laba PLN 2012 meleset. Dari target sebesar Rp 12,49 triliun yang tercantum dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP), akhirnya PLN hanya membukukan keuntungan Rp 2,9 triliun. Seandainya PLN boleh melakukan lindung nilai (hedging), Pamudji sebagai orang nomor satu di PLN pasti akan melakukannya.
Namun, sampai sekarang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum menerima usulan PLN agar bisa hedging. "Untuk sementara usulan itu sedang dibahas," ujarnya. Ya, kerugian senilai hampir satu setengah kali lebih besar dari biaya menyelamatkan modal Bank Century itu muncul hanya karena fl uktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Depresiasi atau merosotnya nilai rupiah sangat merugikan bagi industri yang transaksinya melibatkan mata uang asing.
Beberapa ekonom mewantiwanti, tahun ini rupiah bergerak di kisaran Rp 9.500-Rp 9.700. Bahkan, ada yang bilang, bukan tidak mungkin rupiah bisa embus Rp 10.000 per dollar AS. Lebih parah dari PLN, jika rupiah berada di posisi itu, bagi industri pengemasan berarti sebuah ancaman. Sebab, total biaya roduksi industri yang sarat bahan baku impor ini akan naik 7%-8%. Tidak cuma akan mencatat rugi selisih kurs, kelangsungan roda bisnis industri ini bisa jadi tanda tanya.
Hengky Wibawa, Ketua Indonesian Packaging Federation (IPF), menyampaikan, hampir 100% bahan baku industri ini harus dibeli dalam dollar AS, meskipun penjualnya dari dalam negeri. Jika depresiasi rupiah terhadap dollar AS meningkat sekitar 8%, sementara komposisi biaya bahan baku kemasan rata-rata 60% dari total biaya produksi, maka total biaya meningkat minimal 5%. "Ditambah kenaikan biaya lain, efeknya 7%-8%. Dampaknya cukup parah," tegas Henky.
Alhasil, kata Hengky, seluruh perusahaan yang tergabung di IPF bersepakat akan menaikkan harga jual. Tentu saja, keputusan ini diambil setelah enghitung permintaan pasar yang saat ini masih lesu. Kekhawatiran lebih parah menghinggapi industri serat dan filamen. Jika mata uang Garuda terus-terusan loyo, bukan tidak mungkin akan banyak perusahaan yang bermain di bidang ini bakal bertumbangan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat Synthetic (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menegaskan, depresiasi rupiah memberatkan mereka lantaran selama ini harus membeli bahan produksi dalam dollar AS. Sejauh ini produksi poliester masih normal dengan tingkat utilisasi sekitar 90%. "Tapi beberapa perusahaan sudah memangkas produksi filamen hingga 10% dengan utilisasi di bawah 80%," imbuh Redma.
Sementara di sisi lain, nilai ekspor industri serat dan filamen tergolong kecil. Produk yang mereka ekspor merupakan
sisa dari penjualan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. "Kami berharap, rupiah stabil. Pemerintah harus intervensi,"
tutur Redma.
Pentingnya redefinisi industri dalam negeri
Pada dasarnya, transaksi perdagangan internasional selalu membutuhkan pertukaran mata uang. Secara umum, fluktuasi nilai mata uang pun terjadi setiap hari. Dari sisi importir, depresiasi jelas sangat berat karena biaya impor menjadi melambung tinggi. Sebab, dengan transaksi menggunakan mata uang dollar AS, importir membutuhkan rupiah lebih setiap terjadi depresiasi. Ujungujungnya, para pengusaha pada akhirnya akan membebankan biaya kepada konsumen dengan menaikkan harga jual.
Sebaliknya, di lain pihak, depresiasi rupiah akan menguntungkan eksportir. Mereka bisa menerima hasil penjualan dalam nilai rupiah yang lebih besar. Pada saat yang sama, pembeli di luar negeri cukup membutuhkan nilai rupiah yang lebih kecil agar bisa memperoleh barang. Ini akan membuat permintaan bertambah, sehingga harga produk Indonesia jadi lebih kompetitif. Masalahnya, jika depresiasi rupiah berlangsung terus-menerus, persoalan susulan bisa mengancam. Pertama, dunia usaha Indonesia akan lebih banyak didominasi oleh kegiatan impor ketimbang ekspor.
Kedua, struktur industri di Indonesia akan lemah di sektor hulu. Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Abdul Azis Pane, seharusnya industri hulu juga dikuatkan. Di Indonesia, banyak kebijakan difokuskan ke hilir. Ini membuat industri di negara kita sangat bergantung pada bahan baku impor.
Jadi, kata Azis, fl uktuasi nilai rupiah sebetulnya terjadi setiap hari. Itu normal saja, asal jangan terlalu tajam naik turunnya. Sebab, dengan struktur industri yang rapuh seperti sekarang, jika depresiasi rupiah terlalu dalam, ya, bisa berdampak ekonomis secara nasional. Bahkan, lambat laun bisa menghancurkan seluruh industri. "Oleh karena itu, pemerintah harus meredefi nisi industri kita secepatnya," tegas Azis yang juga menjadi Ketua Komite Tetap Standardisasi dan Mutu Produk Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Pada titik tertentu, depresiasi rupiah ini juga pada akhirnya akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. Maklum, dunia bisnis kita masih masih sangat tergantung pada bahan baku impor. Seolah mengamini penilaian Azis, Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulistyo juga bilang di sinilah terletak peran penting Bank Indonesia dan pemerintah untuk menjaga stabilitas rupiah.Jika nilai tukar mata uang kita relatif stabil, kepercayaan diri para pengusaha juga akan semakin tumbuh. Dengan begituereka tak akan ragu mengambil keputusan terkait dengan investasi atau ekspansi bisnis.
Berkaitan itu, Suryo menilai,ilai tukar ideal rupiah yang "ramah" bagi kalangan industri berkisar antara Rp 9.500 sampai Rp 9.600 per dollar AS. "Tidak terlalu tinggi sekaligus tidak terlalu rendah," paparnya.Kalangan industri lain yang juga tengah mencermati arah kurs adalah para pengusaha di bidang pengolahan makanan. Jika depresiasi rupiah terus berlanjut dan berkepanjangan di kisaran di Rp 10.000 per dollar AS, pengusaha industri makanan
akan menaikkan harga jual antara 5%-10%. Bukan hanya depresiasi rupiah yang mendorong kenaikan itu, tapi juga kenaikan upah tenaga kerja serta tarif tenaga listrik.
Franky Sibarani, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), mencoba memaparkan bahwa biaya bahan baku dan kemasan produk me-reka juga naik. Menurut hitungannya, kenaikan itu akan terjadi dalam tiga bulan mendatang.Seandainya depresiasi rupiah terus berlangsung dalam tiga bulan sampai empat bulan ke depan, bisa-bisa harga produk makanan dan minuman naik lebih tinggi lagi dari hitungan awal industri. Sebab, industri punya hitungan kurs yang biasanya di atas ketentuan pemerintah atau Bank Indonesia.
Franky menambahkan, di industri makanan, komponen impor hampir mengisi sekitar 30% dari total bahan baku. Bahan baku yang dia maksud mencakup bahan-bahan seperti terigu, gula, atau kedelai. "Kita masih bergantung pada bahan baku yang harus impor," pungkas dia.
Selain makanan dan minuman, depresiasi rupiah juga bisa berdampak ke industri farmasi. Hampir sama dengan industri makanan, industri obat pun akan menaikkan harga produk jika rupiah terus nyungsep sepanjang tiga bulan ke depan. Namun, menurut DirekturPT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius, sejauh ini industri farmasi belum menetapkan strategi khusus menghadapi depresiasi rupiah meski biaya bahan baku industri ini setara dengan 70% harga pokok. "Kami akan menganalisis dulu," ujar Vidjongtius.
Masih bisa bertahan
Meskipun demikian, ada satu pandangan yang meragukan bahwa semua hal itu bisa cepat dipastikan. Proses depresiasi rupiah tidak bisa serta-merta dipastikan dampaknya dengan benar karena semua kalkulasi yang ada pada intinya menyangkut perspektif. Adalah Franciscus Welirang, Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Indonesia, yang berpendapat demikian.
Pelemahan rupiah kali ini, menurut dia, belum bisa dibilang terlalu tajam. "Ini hanya positioning saja. Kalau dihitung dari awal 2012 memang naik 8%, tapi kalau coba kita cermati, di kisaran itu para pengusaha masih bisa bertahan," ucap Franciscus.
Hitung-hitungan petinggi Indofood ini, pebisnis belum akan merasakan dampak yang besar di kisaran pelemahan 8%. Dengan tingkat inflasi yang tergolong baik dan terkendali, biasanya pengusaha akan bisa menyesuaikan sana sini, cost saving, dan sebagainya. Kalau pengusaha usaha kecil dan menengah (UKM) biasanya akan mengecilkan unit atau apa. "Itu pola-pola pengusaha," kata Franciscus. "Terus terang, di PT Indofood Sukses Makmur Tbk sendiri, kami belum menetapkan strategi terkait depresiasi rupiah ini," lanjut dia.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News