kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dewan Teh Indonesia curhat mengenai kendala yang dihadapi


Jumat, 29 Juni 2018 / 16:59 WIB
Dewan Teh Indonesia curhat mengenai kendala yang dihadapi
ILUSTRASI. PRODUKSI TEH PTPN


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komoditas teh masih menjadi salah satu komoditas perkebunan yang terus mendapatkan perhatian dan terus berkembang. Sayangnya, masih banyak kendala yang dihadapi komoditas ini.

Ketua Umum Dewan Teh Indonesia Bambang Murtioso membeberkan kendala-kendala terjadi di berbagai sektor, seperti di sektor pasar, di bagian pengolahan dan di bagian hulu atau kebun.

Menurut Bambang, di sisi pasar ekspor, terjadi perubahan selera dan gaya hidup konsumennya. Apalagi, dulunya pasar utama ekspor nasional adalah Inggris, Jerman, Belanda, Rusia dan Timur Tengah. Menurutnya, negara-negara tersebut lebih antusias terhadap gaya hidup sehat saat ini.

“Karena itu otoritas kesehatan Eropa semakin memperketat aturan yang menyangkut consumer health and safety, dan ini memberatkan produsen teh Indonesia dengan berbagai persyaratan sertifikasi dan uji-uji lab yang mahal buat kita,” ujar Bambang kepada Kontan.co.id, Rabu (27/6).

Tak hanya itu, menurut Bambang, kosumen yang memiliki daya beli semakin membaik pun menginginkan teh spesial yang dinamakan Specialty Tea. Dia bilang, perubahan ini tidak mudah untuk kita ikuti dengan segera karena menyangkut perubahan di hulu yang memakan biaya dan waktu.

Sementara untuk pasar dalam negeri, komoditas teh terbagi menjadi teh kering dalam kemasan dan teh siap minum (Ready To Drink/RTD). Sementara, teh siap minum sangat pesat pertumbuhannya. Menurut Bambang, rata-rata persentase pertumbuhan bisa sampai double digit dalam lima tahun terakhir. Sedangkan teh kering dalam kemasan cenderung melambat pertumbuhannya.

“Sayangnya teh siap minum tidak menggunakan bahan baku dari daun teh langsung. RTD lebih banyak memakai essence perisa dan scented. Sehingga pertumbuhan pesat RTD tidak banyak membantu penyerapan pucuk teh ataupun teh kering kita,” tambah Bambang.

Segmen teh kering dalam negeri didominasi oleh satu perusahaan yang pangsa pasarnya sekitar 80%. Dengan lemahnya persaingan, otomatis terjadi perpindahan posisi tawar pasokan dan permintaan, dimana pihak permintaan lebih besar posisi tawarnya dibandingkan sisi pasokan.

Lebih lanjut Bambang menyampaikan, produsen teh dalam negeri hanya bisa bersabar menyaksikan banjirnya teh impor dari Vietnam yang masuk ke Indonesia dengan alasan harganya lebih murah. Padahal, jenis grade sama dan kualitas teh Indonesia jauh lebih baik.

“Kita harus menerima kenyataan pahit ini bahwa Perjanjian WTO yang ditanda tangani tidak berpihak pada komoditas teh dalam negeri,” tandas Bambang.

Sementara, minimnya inovasi teknologi yang membantu meningkatkan diferensiasi dan keunggulan teh menjadi kendala di sektor pengolahan. Menurutnya, cara pengolahan teh nasional masih sangat tradisional.

Padahal, produsen teh baik di tingkat petani dan pabrik besar membutuhkan bahan bakar yang hemat, ramah lingkungan dan memenuhi standar kesehatan.

Tingkat hulu pun masih perlu banyak inovasi teknologi. Inovasi teknologi tersebut dibutuhkan untuk mitigasi dampak perubahan iklim, penyediaan pupuk alami (bio fertilizer), pestisida nabati, klon unggul, perambahan oleh penduduk, konversi peruntukan area untuk penggunaan fasilitas publik lainnya hingga SDM pemetik dan pemupuk yang semakin tua.

Tahun ini, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi teh pun meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, peningkatan tersebut masih sangat kecil atau hanya sekitar 0,62%, di mana produksi teh diperkirakan 140.234 ton.

Bambang mengatakan, peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh kondisi cuaca yang membaik. Namun, bila ditilik dari tahun ke tahun, produksi teh justru mengalami penurunan. Produksi teh paling tinggi terdapat di tahun 2003 dimana poduksinya mencapai 169.821 ton. Produksi teh kembali menurun menjadi sekitar 150.000-an ton sejak tahun 2007, dan pada 2012 produksi mencapai sekitar 140.000 ton.

Menurut Bambang, penurunan produksi teh tersebut salah satunya disebabkan oleh faktor kultur teknis yang tidak sesuai kebutuhan teknis tanaman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×