Reporter: Adisti Dini Indreswari, Noverius Laoli | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kisruh soal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.125/M-DAG/Per/12/2015 tentang Ketentuan Impor Garam semakin panas. Setelah petani garam dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang secara tegas menolak beleid ini, kali ini Komisi IV DPR yang meminta agar aturan ini dicabut.
Pasalnya, meski aturan ini baru akan berlaku pada 1 April 2016 mendatang, tapi efeknya sudah dirasakan petani garam sejak bulan lalu. Faktanya, harga garam lokal terus anjlok di bawah harga yang ditetapkan dan terjadi kelesuan produksi di tingkat petani garam, sehingga berpotensi menurunkan target produksi tahun ini.
Karena itu, Ketua Komisi IV DPR Eddy Prabowo mendesak agar Permendag No. 125/2015 dicabut untuk melindungi petani garam. Menurutnya, DPR sudah berkoordinasi dengan KKP yang juga menolak Permendag tersebut. "Kementerian Perdagangan (Kemdag) harus berkaca dulu, apakah kebijakan itu pantas diberlakukan," ujar Eddy kepada KONTAN, Selasa (2/2).
Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, pemerintah harus berupaya membantu petani garam untuk meningkatkan kualitas produksi. Kemdag mestinya mengharuskan para importir menyerap garam petani terlebih dulu, sebelum memutuskan impor.
Rofi Munawar, Anggota Komisi IV DPR menambahkan, penerbitan beleid ini seakan meneguhkan dan melegitimasi pernyataan Menteri Perdagangan Tom Lembong bahwa impor pangan pada umumnya tidak bisa terhindarkan pada tahun 2016 ini.
Ia menilai, kenyataan ini membuktikan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang secara serius meningkatkan kesejahteraan para petani garam atau memperbaiki mutu dan produktivas produksi garam.
Untuk menengahi masalah ini, Rofi meminta kepada Kemdag segera mengevaluasi regulasi ini, serta meverifikasi data produksi, konsumsi, dan kuota garam yang dibutuhkan industri secara nasional.
Sebelumnya, Ketua Aliansi Asosiasi Petani Garam Indonesia (AAPGI) Jakfar Sodikin menyebut, aturan baru ini tidak pro terhadap petani garam. Setidaknya, ada tiga poin yang menjadi keberatan petani garam.
Pertama, tidak ada kewajiban importir untuk menyerap garam rakyat. Kedua, tidak ada harga pembelian pemerintah (HPP). Ketiga, tidak ada ketentuan pembatasan waktu impor sehingga berpotensi mengganggu harga garam petani ketika panen.
Jakfar mengaku telah mengirim surat keberatan kepada pemerintah terkait adanya aturan tersebut. Namun, sejauh ini baru direspon oleh Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya yang langsung membentuk tim khusus impor garam dan peningkatan kualitas garam rakyat.
Ada peluang revisi
Menerima banyak penolakan, Kemdag mengaku belum bisa bersikap. Soalnya, secara resmi Kemdag belum menerima surat yang berisi penolakan atau masukan dari KKP maupun DPR untuk merevisi Permendag No. 125 Tahun 2015.
Karyanto Suprih, Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag mengaku hanya menerima surat dari petani garam. Namun, menurutnya, poin-poin keberatan petani garam justru tidak terkait langsung alias tidak tercantum dalam aturan anyar tersebut.
Meski begitu, Kemdag tidak menutup peluang merevisi peraturan yang menuai pro kontra tersebut. "Kemungkinan untuk revisi selalu terbuka, tapi harus jelas poin apa yang diprotes. Sejauh ini, poin protes dari banyak pihak itu belum jelas," ujar Karyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News