Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kinerja ekspor kopi sepanjang bulan Mei kemarin mulai terangkat. Berdasarkan data Organisasi Kopi Internasional (ICO), ekspor kopi Indonesia bulan Mei mencapai 440.000 karung atau setara dengan 26.400 ton. Volume ini naik 4,76% dibandingkan ekspor bulan April yang tercatat sebesar 420.000 karung atau 25.200 ton.
Sabam Malau, Ketua Umum Forum Kopi Sumatera Utara (Sumut) memaklumi ekspor kopi yang naik tipis itu. Karena menurutnya, kinerja ekspor kopi memang mulai terangkat bulan Mei. Maklumlah, di periode ini permintaan kopi dari Eropa dan Amerika Serikat mulai terkerek. Hal ini dipicu masyarakat di sana yang ingin mengkonsumsi kopi lebih banyak di musim panas yang biasanya jatuh bulan Juni sampai Agustus. "Mulai Mei biasanya akan sedikit naik," jelas Sabam kepada KONTAN, akhir pekan silam.
Namun Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Rachim Kartabrata, justru terkejut dengan kenaikan ekspor kopi Mei ini. Soalnya, cuaca yang tak menentu membuat pasokan kopi nasional sejak awal tahun masih labil.
Menyiasati hal ini, kapal pengangkut ekspor kopi lebih sering datang ke Indonesia untuk mengamankan pasokan. "Mereka harus lebih sering datang agar mampu menyiasati pasokan yang sedang fluktuatif," jelas Rachim.
Dia memperkirakan, kenaikan ekspor kopi masih bakal berlanjut hingga Juli. Meski begitu, dia meramal kenaikan ini pun tak akan drastis. Pasalnya, sejumlah daerah penghasil kopi mengalami kegagalan panen jilid I. Panen raya jilid I ini biasanya berlangsung selama Maret-Mei silam. Kenyataannya, hingga kini produksi di sejumlah sentra penanaman kopi masih seret.
Tak percaya? Tengok saja panen kopi di Sumut selama Maret-Mei lalu yang kurang dari 5.000 ton per bulan. Padahal seharusnya, produksi kopi bisa mencapai 6.000 ton per bulan. Informasi saja, Sumut merupakan salah satu lumbung kopi nasional dengan produksi rata-rata 60.000 ton per tahun.
Menurut hemat Rachim, panen yang buruk di Sumut disebabkan faktor cuaca yang masih buruk. Selain itu, serangan hama pengerek buah kopi (PBK) juga masih menggerogoti pohon kopi.
Sekadar catatan, panen raya di sejumlah daerah memang terganggu belakangan ini. Hal ini sempat mengganggu ekspor kopi bulanan. Demi menutup kebutuhan ekspor, para pengusaha banyak mengandalkan stok hasil panen tahun 2010. Mengingat stok ini semakin tipis, ekspor pun ikut melandai. Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pun ikut mempersulit ekspor kopi.
Sabam sendiri meramalkan, ekspor kopi baru kembali normal Oktober mendatang. Pasalnya, di bulan itu, umumnya mulai memasuki masa panen raya jilid II. Alhasil, produksi kopi di beberapa daerah akan melimpah sehingga Indonesia mampu menggenjot ekspor kopi.
Namun menurut Sabam, prediksi itu hanya bakal terwujud jika cuaca kembali normal. "Sekarang semuanya bergantung pada cuaca, kalau bagus, produksi ikut bagus," jelas Sabam.
Kementerian Pertanian (Kemtan) pun sepertinya sudah pasrah dengan pasokan kopi di tahun ini. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perkebunan Kemtan, Gamal Nasir mengungkapkan produksi kopi nasional tahun ini kemungkinan bakal turun.
Tahun 2010 lalu, produksi kopi nasional mencapai 600.000 ton. Kemtan sebenarnya menargetkan produksi kopi tahun 2011 bisa mencapai 709.000 ton. Namun melihat kondisi cuaca dan hama, Gamal menaksir produksi kopi tahun ini bisa turun 10%-20% dari tahun 2010 lalu.
Harga turun
Meski ekspor naik tipis, namun tidak demikian halnya dengan harga kopi. Tengoklah harga kopi di tingkat petani yang justru turun. Berdasarkan pantauan Forum Kopi Sumut, saat ini harga kopi arabika menyentuh Rp 26.000-Rp 27.000 per kilogram (kg). Padahal, pada bulan lalu, para petani masih bisa menikmati harga Rp 29.000 untuk setiap kilogramnya. Artinya, harga kopi sudah merosot 10,3% sebulan ini.
Penurunan harga ini sebetulnya di luar kewajaran. Sebab, permintaan kopi tengah meningkat. Sementara, pasokan kopi masih kurang sehingga mestinya harga terangkat.
Penurunan harga yang tidak wajar ini jelas merugikan petani. Menurut Sabam, petani semestinya mendapatkan harga minimal Rp 60.000 per kg. Pasalnya, biaya produksi yang dikeluarkan petani bisa mencapai Rp 45.000-Rp 50.000 per kg. Biaya sebesar itu digunakan untuk membeli pupuk organik, upah tenaga kerja, dan biaya pengelolaan lahan.
Karenanya, Sabam meminta pemerintah ikut campur tangan menciptakan tata niaga kopi yang lebih berpihak pada petani. Tujuannya, agar petani bisa mendapatkan harga yang ideal. "Kalau terus dibiarkan, para petani bisa beralih menanam tanaman lain," tandas Sabam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News