Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pemerintah akan melelang dua blok 3G di frekuensi 2,1 gigahertz (GHz) eks Axis, pada kuartal I-2016. Empat operator telekomunikasi yakni PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), PT XL Axiata Tbk, PT Indosat Tbk, dan PT Hutchison 3 Indonesia siap memperebutkan dua blok nganggur itu.
Tak tanggung-tanggung, Telkomsel dan XL Axiata kompak berambisi mengakuisisi dua blok sekaligus. Tri Wahyuningsih, General Manager PT XL Axiata Tbk bilang, frekuensi adalah sumber daya perusahaan yang ternilai. Dus, XL Axiata siap mengalokasikan biaya operasional khusus untuk untuk mendukung rencana tersebut.
Sementara Telkomsel melihat kebutuhan yang mendesak akan tambahan frekuensi sebagai alasan ingin mengakuisisi. "Untuk pengembangan layanan broadband karena jumlah pelanggan Telkomsel yang sudah tidak sebanding dengan frekuensi yang dimiliki," alasan Adita Irawati, Vice President Corporate Communication Telkomsel, kepada KONTAN, Rabu (18/1).
Berbeda dengan Indosat yang hanya mengincar satu blok saja. Alexander Rusli Direktur Utama PT Indosat Tbk merasa sudah cukup dengan tambahan satu blok saja. "Dananya dari belanja operasional 2016," katanya.
Demikian pula dengan Hutchison 3. "Yang mandatory dari perusahaan, satu blok saja," ungkap Arum K Prasodjo, Senior Manager Public Relation and Media PT Hutchison 3 Indonesia.
Mengingatkan saja, dua blok yang tak terpakai tersebut adalah blok 11 dan blok 12. Pasca XL Axiata mengakuisisi PT Axis Telekom Indonesia tahun lalu, blok itu lantas dikembalikan kepada pemerintah.
Nah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) semula berencana menggelar tender dua blok tersebut akhir tahun ini. Namun, Menteri Kominfo menolak disebut molor dari target. "Karena sebagian frekuensi 2,1 GHz masih digunakan operator lain sehingga harus dipastikan dulu ketersediaannya," terang pria yang akrab disapa Chief RA itu, kepada KONTAN, Rabu (18/11).
Operator telekomunikasi yang Kemkominfo maksud yakni PT Smartfren Telecom Tbk. Sejauh ini, Smartfren masih menggunakan frekuensi 1.900 MHz. Padahal sebelum blok 11 dan blok 12 bisa digunakan, Smartfren harus terlebih dahulu pindah ke 2,3 GHz. Pasalnya, frekuensi Smartfren bersinggungan dengan dua blok tadi.
Biaya mahal
Sejauh ini, belum ada ketetapan harga tender blok 11 dan blok 12. Kemkominfo hanya menyebutkan, harga akan memperhatikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan kemampuan atau kondisi ekonomi industri.
Pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Heru Sutadi memprediksi, hitung-hitungan biaya per blok akan serupa dengan dua tender sebelumnya. Operator akan membayar dua kali upront fee ditambah biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi tahunan.
Sebagai gambaran, upront fee tender kali ini sama dengan upront fee pada gelaran tender tahun 2012 yakni, Rp 256 miliar. Biaya utama tersebut lantas ditambah dengan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) tahun ini dan BHP frekuensi. Asumsinya, BI rate 7,5% dan BHP sekitar Rp 160 miliar. Maka, akan didapat harga satu blok sebesar Rp 710,4 miliar. Kalau total dua harga dua blok mencapai Rp 1,42 triliun.
Hitungan harga tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan harga yang dipasang di negara lain. Catatan Heru, harga megahertz per population Indonesia bahkan lebih mahal jika dibandingkan dengan Eropa.
Oleh karena itu, Heru menyayangkan hitungan harga yang kemungkinan dibikin pemerintah. Pasalnya, industri dalam negeri sejatinya belum mendukung. "Jangan sampai mematok harga yang mahal dan membebankan masyarakat," tandas Heru, yang tak lain adalah mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News