Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Harga minyak mentah dunia yang anjlok sampai US$ 64 per barel membuat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) ketar-ketir. Pasalnya, mereka memprediksi trend penurunan harga minyak akan berlangsung lama. Kalaupun harga minyak naik, akan terjadi sangat lambat.
Direktur Utama Pertamina E&P Adriansyah menyatakan, penurunan harga minyak saat ini terjadi bukan sekadar fluktuasi biasa. Hal ini karena adanya kelebihan suplai minyak dan gas di pasar Amerika Serikat dan Rusia.
Saat ini produksi shale oil and gas di Amerika Serikat sedang melimpah. Pada saat yang sama, Rusia tengah menggenjot produksi besar-besaran. "Bakal agak lama, dan naiknya akan lambat," jelas Adriansyah kepada KONTAN, Senin (1/12).
Penyebab lain, stabilitas geopolitik negara-negara di Timur Tengah lantaran berakhir konflik politik. Seperti di Libya saat ini juga menggenjot produksi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam negeri.
Meski demikian, penurunan harga minyak di pasar internasional tidak akan berdampak pada produksi dan investasi Pertamina EP dalam jangka pendek. "Penurunan harga minyak dunia hanya akan berdampak pada penerimaan dan laba perusahaan pada jangka pendek," ujar dia.
Namun, untuk jangka panjang, penurunan harga minyak dunia bisa berdampak pada investasi yang tengah dilakukan, untuk memproduksi minyak. Pertamina EP menjadi makin selektif dalam menginvestasikan dananya pada lapangan–lapangan minyak yang sudah marginal atau kurang produktif. "Investasi pada lapangan marginal akan kami kurangi," tegas dia.
Dengan harga minyak dunia di bawah US$ 70 per barel, biaya produksi minyak atau cost per barel sekitar US$ 30 hingga US$ 40 per barel. Ini berarti margin makin tipis alias makin tidak ekonomis.
Untuk itu, Pertamina EP akan lebih banyak menginvestasikan dana untuk lapangan–lapangan dengan cost per barel yang lebih rendah. Dalam pandangan Wakil Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah, seandainya penurunan harga minyak ini terjadi dalam jangka panjang, perusahaan migas bakal menghentikan produksi di lapangan migas yang tidak ekonomis.
Dia menyatakan, pada saat yang sama, penurunan harga minyak bumi di pasar internasional ini juga akan berdampak pada turunnya nilai aset di lapangan migas. Walhasil, "Ini bisa menjadi kesempatan bagi perusahaan migas berkekuatan modal besar, untuk melakukan belanja aset atau mengambil-alih aset-aset migas dari perusahaan migas yang lebih kecil," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News