Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Entah sudah berapa kali harga cabai naik tak terkendali seperti ini. Komoditas yang rentan terhadap cuaca hujan ini menjadi pusat perhatian karena pasokannya yang pasti turun sedangkan permintaan tetap sehingga harga naik.
Hanya saja, menarik jika dicermati lebih jauh bahwa setiap musim hujan datang dan harga cabai mulai menunjukkan keperkasaannya, saat itu pula pemerintah menyatakan kenaikan harga cabai akibat cuaca buruk tanpa memberikan solusi yang konkret. Padahal, para konsumen menanti solusi jitu dari pemerintah.
Kementerian Perdagangan (Kemdag) selaku pemegang komando dalam stabilisasi harga pangan bersikeras tidak akan membuka keran impor si pedas ini. "Kami tidak akan mengeluarkan izin impor cabai segar. Yang ada izin impornya hanya cabai kering untuk keperluan industri," tutur Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemdag kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.
Sikap tegas pemerintah ini boleh menjadi dasar bahwa sebenarnya produksi cabai, khususnya jenis rawit merah dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Data Kementerian Pertanian (Kemtan) dari 2011 hingga 2016 menunjukkan, produksi cabai rawit rata-rata meningkat 8,6% tiap tahun.
Produksi rawit merah di 2015 mencapai 869.938 ton, dan di tahun 2016 sekitar 872.938 ton. Sedangkan produksi cabai keseluruhan di tahun 2015 mencapai 1,941 juta ton dan tahun 2016 sebanyak 1,942 juta ton.
Peningkatan produksi ini juga sebanding dengan peningkatan konsumsi. Data Kemtan mencatat kebutuhan cabai (rawit dan jenis lainnya tahun 2015 mencapai 1,328 juta ton, dan tahun 2016 naik sebanyak 1,4 juta ton. Lalu, apa yang salah?
Abdullah Mansuri, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menjelaskan, kenaikan harga menjadi sinyal bahwa pasokan rendah dan salah satu penyebabnya adalah turunnya produksi. "Pemerintah harus akui produksi cabai kita memang turun sekitar 40% dari data yang dirilis dan hal ini bisa kita rasakan bersama," ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiana. Menurutnya, harga cabai yang fluktuatif adalah cerminan dari produksinya. Turun harga ketika panen dan melesat naik ketika paceklik. "Masalahnya permintaan cabai tak bisa ditekan ketika produksi turun sehingga harga naik tak bisa dihindari," ujarnya.
Kebutuhan cabai, khususnya rawit diperkirakan terus meningkat seiring peningkatan bisnis kuliner yang menawarkan rasa pedas. Sekitar 45%–55% produksi cabai nasional diserap oleh sektor hotel restoran dan katering (horeka) dan rumah makan. Selain itu, sekitar 20% cabai ini diserap oleh industri makanan, terutama produsen saus sambal. Sisanya dikonsumsi masyarakat dan sektor rumah tangga.
Uniknya, Abdullah bilang, meskipun produksi cabai turun, tapi ada tren bahwa masyarakat juga mengurangi konsumsi cabai secara alamiah ketika harganya melonjak. Karena itu, meski produksi terus turun beberapa tahun terakhir dan impor tak juga dibuka, tak ada kegaduhan cukup berarti di masyarakat.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News