Reporter: Handoyo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pemangku kepantingan di sektor pergulaan, seperti Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Asosiasi Gula Indonesia (AGI) dan Asosiasi Pedagang Gula Indonesia (APGI) sepakat melakukan penyanggaan gula petani seharga Rp 8.500 per kilogram (kg). Masing-masing asosiasi mendapat jatah untuk melakukan penyanggaan sebanyak 250.000 ton.
Artinya, dalam masa giling tebu tahun ini petani akan mendapat jaminan harga minimal yang diterima sebesar Rp 8.500 per kg. Harga tersebut, lebih tinggi bila dibandingkan dengan Harga Pokok Petani (HPP) yang ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebesar Rp 8.250 per kg.
Meski demikian, dalam kesepakatan tersebut masih ada yang mengganjal bagi kalangan petani tebu. Pasalnya, bila harga lelang gula yang terbentuk melebihi minimal harga yang disepakati maka diberlakukan profit sharing yang harus diberikan petani kepada investor penyangga.
Perinciannya, bila harga lelang yang terjadi berada dilevel Rp 8.500 per kg-Rp 9.000 per kg, maka profit sharing yang diberikan kepada investor penyangga sebesar Rp 100 per kg. Bila harga lelang mencapai Rp 9.000 per kg-Rp 9.300 maka profit sharing yang diberikan kepada investor penyangga sebesar Rp 150 per kg.
Sementara itu, bila harga lelang mencapai Rp 9.300 per kg maka profit sharing yang diberikan kepada investor penyangga sebesar Rp 200 per kg. Bahkan, bila harga lelang gula menyentuh Rp 9.500 per kg, maka gula petani tidak perlu lagi dilelang tetapi diberikan kepada investor penyangga. Hal tersebut agar dapat menjaga harga dipasar retail dan dapat dijual pada harga maksimum Rp 11.300 per kg.
Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengatakan, sebenarnya pihaknya sangat mengapresiasi langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam melakukan interfensi dengan sistem penyangga tersebut. "Tetapi dengan adanya profit sharing ini petani tidak setuju," katanya, Rabu (11/6).
Dengan sistem profit sharing tersebut, Arum bilang akan lebih menjepit petani tebu rakyat. Sistem tersebut juga dirasa memberatkan karena dengan perhitungan rata-rata produksi sebanyak 900 kwintal per hektar (ha) dengan rendeman tebu 7%, HPP yang seharusnya diterima petani mencapai Rp 11.881 per kg.
Arum menjamin, sistem ini tidak akan terlaksana dengan baik dan bahkan akan meimbulkan kekacauan dilapangan. Menurutnya, kesepakatan ini sifatnya tidak mengikat dan berpotnsi besar untuk tidak dilakukan. Seharunya kebijakan ini diterapkan dalam bentuk peraturan menteri atau surat keputusan menteri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News