Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Meski kenaikan harga bangunan tetap berlangsung hingga kini, para pengembang menilai besaran kenaikan harga rumah subsidi yang dipatok pemerintah di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/2014 tentang Batasan Rumah Sederhana yang Dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih memadai.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyatakan, tingkat kenaikan harga rumah subsidi yang rata-rata 5%-6% per tahun masih mengakomodasi kenaikan harga properti. Rentang kenaikan harga tersebut sudah menghitung kenaikan harga bangunan dan tanah.
Apalagi kondisi ekonomi saat ini tengah melambat membuat pertumbuhan kredit, termasuk kredit properti, katanya menjadi lambat. Imbasnya, kenaikan pendapatan masyarakat pada tahun ini malah bisa di bawah 5%. "Jadi kenaikan harga rumah subsidi yang dibatasi 5%-6% sudah mengakomodasi kenaikan sektor properti," kata Eddy ke KONTAN, Senin (22/2).
Eddy menjelaskan, persentase kenaikan harga rumah subsidi ini serupa dengan hitungan yang diserahkan Apersi kepada Direktorat Jenderal Pajak. Setelah Apersi mengkajinya, hasil yang didapat ternyata tidak jauh berbeda dengan harga jual rumah subsidi yang dicantumkan dalam beleid tersebut.
Menurut Direktur Keuangan sekaligus Sekretaris Perusahaan Ciputra Development Tbk Tulus Santoso Brotosiswojo, batasan harga rumah subsidi dari tahun 2014 sampai tahun 2018 membuat pengembang ada patokan dan tidak perlu membuat kajian lagi. Pengembang pun menjadi lebih bebas menentukan pilihan. Apakah mau membangun rumah subsidi yang ada insentif pajaknya atau yang tidak. "Toh, tidak ada sanksi juga," tandasnya.
Direktur Jenderal Pembiayaan perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus menjelaskan bilang sejauh in pengembang masih taat terhadap kebijakan tersebut. Sebab, bila melanggar bakal terkena sanksi dan denda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News