Reporter: Asnil Bambani Amri |
JAKARTA. Kementerian Perdagangan (kemendag) menetapkan Harga Patokan Ekspor (HPE) kakao bulan Juni 2010 sebesar US$ 2.783 per ton. Angka itu naik 6,7% dibandingkan HPE Mei 2010 lalu yang hanya US$ 2.608 per ton.
Walaupun HPE naik, namun hitungan HPE bulan Juni itu masih dibawah harga US$ 3.000 per ton, yang berarti Bea Keluar (BK) yang ditetapkan untuk ekspor kakao Juni masih berada di angka 10% dari HPE.
Dalam penentuan HPE untuk kakao tersebut, Kementerian Perdagangan mengacu kepada harga FOB (free on board) pada harga rata-rata satu bulan terkahir. “Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum penetapan HPE,” tegas Permendag No.21/2010 yang diteken oleh Muchtar, Plh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag.
Sedangkan pedoman harga yang menjadi acuan Kemendag tersebut adalah bursa komoditi New York selama sebulan sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan. Kebijakan BK terhadap Kakao tersebut merupakan kebijakan yang sudah diberlakukan pada bulan ketiga terhitung diberlakukan sejak bulan April lalu.
Halim Abdul Razak terpilih sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengaku, pihaknya belum mengerti bagaiana cara penghitungan BK tersebut. “Mereka tidak pernah melakukan sosialisasi, bagaimana HPE itu ditentukan,” kata Halim kepada KONTAN, Kamis (27/3)
Halim bilang, Askindo tetap pada posisi menolak kebijakan adanya BK kakao yang diteken oleh Menteri Keuangan yang waktu itu masih dijabat oleh Sri Mulyani. Menurutnya, kebijakan itu dilakukan adanya sosialisasi kepada anggotanya. “Kami tetap menolak, sehingga kami menanggung kerugian yang cukup besar,” jelasnya.
Awalnya, karena pemberlakuan BK kakao ini, Askindo sempat mengancam akan menghentikan ekspor pada bulan April. Namun pada akhir April anggotanya terpaksa melakukan ekspor dengan menanggung BK yang sebelumnya tidak terhitung dalam kontrak penjualan kepada pembeli. Menurut Halim, eksportir tidak punya pilihan lain selain ekspor. Soalnya, jika tidak dikirim maka pihaknya akan dinyatakan default.
“Kalau kami dinyatakan default oleh pembeli, maka bisnis kami bisa hancur,” katanya. Menurut Halim, kerugian yang ditanggung anggotanya saat ini adalah Rp 2500 per kg atau sekitar 175 miliar dengan volume 70.000 ton. Kerugian itu terjadi karena saat penjualan tidak mempertimbangkan adanya BK yang ditetapkan oleh pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News