Reporter: Merlinda Riska | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA) menilai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang E-Commerce dari Kementrian Perdagangan bakal mematikan industri e-commerce. Soalnya, definisi tentang pelaku usaha ecommerce tidak sesuai dengan praktik e-commerce saat ini.
Daniel Tumiwa, Ketua Umum idEA, dalam rilis yang diterima KONTAN, Senin (22/6), menyatakan, definisi "pelaku usaha" di RPP itu tidak merefleksikan keadaan, model, dan praktik bisnis e-commerce di pasar saat ini. Perlu dipahami bahwa e-commerce jauh lebih luas dari e-retail. Selain e-retail, ada banyak model bisnis lain yang perlu diakomodir, seperti classified ads, market place, dan daily deals. Masing-masing model bisnis perlu pendekatan aturan yang berbeda.
"Beberapa isi RPP sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mematikan industri," katanya.
Selain itu, ada juga poin tentang kewajiban pendaftaran yang dikenal dengan istilah Know Your Customer (KYC), tidak masuk akal untuk dijalankan oleh model bisnis classified ads dan market place. Hal tersebut secara langsung akan membunuh para pemainnya.
Belajar dari negara-negara lain yang telah lebih maju dalam hal e-commerce, aturan yang dibuat haruslah berimbang antara perlindungan konsumen, penjual, dan penyelenggara platform. Di Amerika Serikat, misalnya mempunyai "safe harbor policy" yang membatasi pertanggungjawaban hukum dari penyelenggara platform berdasarkan azas keadilan. Hal tersebut sangat penting untuk membangun iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha.
"Kami mengajak pemerintah untuk segera memperbaiki proses penyusunan RPP ini. Segera libatkan para pelaku industri ke dalam kelompok diskusi, berikan akses kepada draf lengkap, dan berikan waktu minimal 30 hari untuk mengevaluasi puluhan pasal tersebut," paparnya.
Sebagai informasi, pada hari Minggu 21 Juni 2015 kemarin, Kementrian Perdagangan akhirnya mensirkulasikan dokumen elektronik berupa matriks yang berisi garis besar pasal-pasal RPP E-Commerce. Asosiasi kemudian diberikan waktu 1 minggu untuk memberikan masukan terhadap materi tersebut.
Hal ini merupakan kelanjutan dari keluhan Asosiasi terhadap Kemendag yang dinilai tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Selama 2 tahun wacana ini bergulir, Asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draf dokumen. Matriks yang diberikan juga dirasa tidak cukup komprehensif, karena sangat krusial untuk mengevaluasi keseluruhan dokumen secara utuh. Adapun waktu 1 minggu yang diberikan tidaklah ideal untuk mengulas dokumen yang sangat penting bagi masa depan perekonomian nasional.
"Dari matriks yang diberikan tersebut, dapat dilihat beberapa poin yang sangat berbahaya bagi industri," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News