Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan pertumbuhan produksi industri material logam tumbuh 10% sampai 11% di tahun ini.
Budi Irmawan, Direktur Industri Material Logam Dasar mengatakan pertumbuhan produksi tahun ini agak melambat dibandingkan tahun lalu yang sekitar 13%. "Tahun ini penurunan pertumbuhan karena pengeluaran pemerintah menurun," ujar Budi, Selasa (10/6).
Gunawan Lukito, Ketua Bidang Non-Ferro Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) mengatakan kapasitas produksi nasional adalah sebesar 2.000 ton metrik per tahun. Catatan saja, pihaknya memproduksi komponen-komponen perkakas berbahan baku logam.
Sebesar 30%-40% dari total produksi tersebut digunakan untuk pemenuhan permintaan dalam negeri. Sementara 60%-70% produksi dijual ekspor ke Eropa, Australia dan Asia Tenggara.
"Kami banyak ekspor ke luar negeri karena klien pembeli kami memang kebanyakkan merek-merek luar negeri," ujar Gunawan. Sementara itu 60%-70 permintaan di dalam negeri harus dipenuhi dengan impor dari Cina.
Adapun bahan baku produksi mereka 80% dari lokal. Bahan baku produksi mereka adalah stainless steel scrab.
Namun Gunawan menjelaskan sebetulnya tidak ada beda bahan baku dari impor maupun dalam negeri. Pasalnya keduanya punya kualitas serupa dan sama-sama dibeli dengan harga dollar. Harga bahan baku tersebut adalah US$ 2.000 per metrik ton.
Gunawan mengatakan, dengan pengolahan bahan baku, harga jual komponen perkakas bisa berlipat ganda. Harga jual hasil produksi bisa mencapai US$ 5.000 - US$ 10.000. Perbedaan harga tersebut tergantung dari presisi dan kualitas bahan baku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News