kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini dampak jika Bea Keluar CPO terlalu tinggi


Jumat, 03 Februari 2017 / 12:57 WIB
Ini dampak jika Bea Keluar CPO terlalu tinggi


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Ditetapkannya Bea Keluar (BK) untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil  (CPO) sebesar US$ 18 per metrik ton berlaku sejak Februari 2017 oleh Pemerintah berdampak cukup signifikan terhadap industri sawit Tanah Air. Penetapan BK ini mengikuti naiknya harga referensi produk CPO di pasar dunia dari US$ 788,26 per metrik ton menjadi US$ 800 per metrik ton.

Bea keluar sebesar itu berlaku jika harga referensi CPO sebesar US$ 800-850 per metrik ton. BK CPO sebelumnya ditetapkan sekitar US$ 3 per metrik ton. Selama ini, bea keluar CPO memang ditetapkan secara progresif sesuai fluktuasi harganya di pasar dunia.

“Bea keluar CPO nantinya berpengaruh pada harga TBS (Tandan Buah Segar) di tingkat petani. Jika semakin besar bea keluarnya, maka kemungkinan besar harga TBS pun akan ikut turun,” terang Marselinus Andri, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Jumat (3/2).

Harga TBS periode II Januari 2017 di tingkat petani sekitar Rp 1.600 per kilogram (kg) hingga Rp 2.088 per kg, tergantung usia tanamannya. “Itu harga tanpa tengkulak. Kalau untuk tingkat petani swadaya yang melalui tengkulak tentu di bawah harga tersebut karena banyak potongan,” jelas Andri.

Ia menambahkan, kalaupun pungutan bea keluar dikembalikan pada petani, realisasinya tidak maksimal. Selama ini menurut Andri tidak ada upaya dari Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas sawit di tingkat petani swadaya.

“Misal, terkait akses, bibit, pupuk, infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan jarang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat bawah,” tuturnya. Jika harga CPO turun, tidak menutup kemungkinan jika harga TBS akan jatuh.

Di sisi lain, kalangan pengusaha ekspor CPO tidak bisa mengelak adanya kenaikan bea keluar ini. “Mau bagaimana lagi, kami harus ikut aturan karena sudah diatur di undang-undang. Harga CPO juga semakin meningkat katanya. Namun, kami berharap dengan adanya kenaikan ini, Pemerintah bisa memberi insentif bagi keberlangsungan industri sawit,” ungkap Edi Suhardi, anggota Indonesian Growers sekaligus Director Sustainbility PT Agro Harapan Lestari.

Edi mengatakan bahwa Pemerintah tidak bisa lepas begitu saja dari tanggungjawab menjaga dan melindungi perjalanan bisnis sawit di tanah air. “Kami harap kalau bea keluarnya naik, ada insentif yang diberikan, seperti perbaikan infrastruktur, pelatihan, dan pendampingan, khususnya bagi para petani sawit. Karena hal itu berdampak juga pada keberlangsungan industri sawit kita,” ujarnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan menyatakan bahwa naiknya bea keluar dapat menyebabkan ekspor melemah. Pasalnya, para pelaku usaha tidak hanya dibebani kenaikan bea keluar, tapi juga CPO Fund. CPO fund adalah dana potongan pajak ekspor. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk subsidi biodiesel 20%.

“Jika bea keluar terlalu tinggi, pengusaha bisa jadi kurang tertarik untuk mengekspor. Apalagi di dalam negeri juga ada kebutuhan untuk biodiesel,” kata Fadhil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×