Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Fiber optik kini menjadi agenda utama para operator untuk berinvestasi. Namun, tetap saja di lapangan pengembangan jaringan tersebut menemui sejumlah kendala.
"Kalau soal perizinan sih, enggak. Tapi lebih karena topografi alam kita (Indonesia) saja yang banyak melalui laut," ujar Arif Prabowo, Sekretaris Perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk kepada KONTAN.
Memang, sejauh ini, emiten pelat merah dengan kode saham TLKM di Bursa Efek Indonesia tersebut memiliki jaringan fiber optik terpanjang dibanding pemain lain.
Panjang fiber optik milik perseroan hampir 75.000 KM yang terbentang dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua. Nah, karena menghubungkan pulau maka ada jalur tertentu yang mau tidak mau harus melalui laut.
Dan bukan hanya TLKM, fiber optik melalui jalur memang hingga saat ini masih menjadi kendala bagi semua pihak. Bukan hanya instalasinya saja yang terbilang sulit, perawatannya pun juga tidak semudah di jakur darat.
Wajar juga TLKM memiliki fiber optik terpanjang yang mau tidak mau juga harus melewati laut. Sebab, TLKM merupakan BUMN.
Karena statusnya yang BUMN maka perseroan wajib mengisi titik-titik yang ditinggalkan atau bahkan dihindari swasta karena tidak menguntungkan secara bisnis.
Lain TLKM, lain juga PT Link Net Tbk yang memiliki fiber sepanjang 20.000 KM. Karena hanya sekitar 20.000 KM, maka fiber optik miliki anak usaha PT First Media Tbk tersebut banyak melalui jalur darat.
"Makanya, kalau kami, kendalanya lebih ke masalah standarisasi," ujar Liryawati, Investor Relation Link Net kepada KONTAN belum lama ini.
Tidak seperti di kebanyakan luar negeri. Instalasi fiber optik di Indonesia mulai dari backbone-nya hingga perangkat seperti home pass -nya yang menuju ke ruangan pengguna berbeda-beda dari setiap vendor.
Huawei misalnya punya spesifikasi tertentu atas perangkat fiber optik dan penunjangnya. Lalu, instalasi tersebut wajib menggunakan desain yang juga ditentukan oleh Huawei. Nah, kadang, beda vendor berbeda pula standarnya.
"Terkadang, ini malah membuat kita bingung," tandas Lirya.
Kendati demikian, hal ini bukan menjadi halangan bagi para penyedia layanan internet untuk memperluas jangkauan layanannya. Seperti TLKM misalnya, hanya tinggal sebentar lagi perseroan memiliki fiber optik tidak hanya sampai Papua, tapi juga Papua sisi Selatan dan Utara.
Lalu, Link Net sedang menjalankan pilot project all fiber optic di sebuah kawasan premium di Jakarta.
Catatan saja, selama ini fiber optik hanya sebagai backbone. Sementara perangkat yang menuju ruangan atau properti konsumen masih menghunakan perangkat konvensional. Ini namanya hybrid fiber coaxial (HFC).
HFC masih lebih murah ketimbang all fiber. "Investasi all fiber bisa 50% lebih mahal dibanding HFC," tambah Lirya.
Oleh sebab itu, teknologi tersebut saat ini belum layak diluncurkan dalam waktu dekat. Tapi ke depan, bisa dipastikan teknologi itu bisa dirasakan oleh masyarakat luas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News