Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Azis Husaini
Pelaku usaha minerba menganggap, kebijakan Jonan berat sebelah. Ini tercermin dari Peraturan Menteri ESDM No. 28/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Kementerian ESDM merilis beleid ini agar ekspor mineral bisa dilakukan. Nah, hasil ekspor tersebut bisa mendanai pembangunan smelter. Tapi apa boleh dikata, pemerintah dinilai hanya mementingkan PT Freeport Indonesia supaya bisa tetap ekspor. Faktanya, hingga detik ini, perusahaan asal Amerika Serikat itu masih enggan membangun smelter.
Jonan menepis tudingan tersebut. Ia menegaskan, Permen ESDM ESDM No. 28/2017 dibuat bukan untuk kepentingan satu perusahaan saja. Alhasil, hanya Freeport PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) dan PT Aneka Tambang (Antam) yang menikmati ekspor mineral mentah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kemperin Bambang Gatot Ariyono bilang, untuk melakukan kegiatan ekspor, dalam pengajuan rekomendasi ekspor wajib tertera komitmen membangun smelter. "Belum ada yang minta ekspor lagi. Target pembangunan smelter tahun ini kan banyak, tapi belum ada yang jalan," akunya kepada KONTAN, Jumat (26/5).
Bak gayung bersambut. Pernyataan Bambang langsung ditanggapi Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo. Ia mengungkapkan, demi meloloskan ekspor konsentrat tembaga Freeport, komoditas lainnya ikut terkena imbas. Pasalnya nikel kadar rendah ikut diputar keran ekspornya.
Tak pelak, efek dari ketentuan ini, semakin sepi perusahaan yang tertarik membangun smelter. Maklum, mereka khawatir kesulitan pasokan bahan baku karena banyak yang diekspor.
Kementerian ESDM menyatakan, perusahaan harus menyerap nikel mentah untuk kebutuhan smelter dalam negeri. Nyatanya, saat ini saja, banyak investor smelter lokal yang mengeluhkan efek aturan tersebut. "Harga nikel langsung jatuh dari US$ 11.000 per ton menjadi US$ 9.000, " sebut Jonatan kepada KONTAN, Jumat (26/5).
Kemudian, aturan yang tidak pro industri dalam negeri adalah Permen No. 09/2017. Beleid ini turunan dari Peraturan Pemerintah No 1/2017, yakni perusahaan asing wajib mendivestasikan saham sebanyak 51% jika setuju mengubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sejatinya peraturan ini dibuat untuk menaklukan Freeport Indonesia. Cuma, Freeport belum juga mau divestasi saham 51% kendati statusnya sudah IUPK.
Freeport bahkan mendapatkan keistimewaan melalui dua status i, yakni, Kontrak Karya (KK) sebagai pemegang pajak naildown dan IUPK untuk bisa ekspor. "Freeport belum sepakat divestasi saham 51%," terang Teguh Pamudji, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/5).
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso menilai, aturan yang dikeluarkan Menteri Jonan belum mencakup keseluruhan karena dibuat hanya khusus untuk satu perusahaan. Maka, banyak perusahaan tambang lain yang belum merasakan dampak positif dari kebijakan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News