Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) coal bed methane (CBM) bisa memilih menggunakan Gross Production Sharing Contract (GPSC) atau Production Sharing Contract (PSC). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan finalisasi draft kontrak CBM yang memuat dalam bentuk penyesuaian term and conditions.
Yang dimaksud dengan GPSC adalah keseluruhan hasil produksinya, langsung dibagi menjadi dua antara pemerintah dan KKKS tanpa adanya cost recovery. Sehingga biaya pengembangan CBM yang dikeluarkan KKKS tidak dibebankan kepada negara. Sedangkan PSC merupakan kontrak bagi hasil dengan adanya cost recovery.
“Kontrak CBM baru ini akan ditawarkan kepada KKKS CBM, baik yang telah menandatangani kontrak maupun belum,” ujar Dirjen Migas, Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo.
Jika menggunakan kontrak bentuk PSC yang biasanya digunakan untuk pengembangan migas konvensional, gas baru bisa diusahakan setelah rencana pengembangan lapangan (Plan of Development/PoD) ditandatangani. Padahal dalam pengembangan CBM, gas telah keluar pada proses dewatering. Dengan kontrak bentuk baru ini, gas sudah dapat dimanfaatkan sebelum PoD ditandatangani.
Rencananya, gas yang telah keluar pada proses dewatering akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik skala kecil bagi masyarakat sekitar sumber gas. Untuk itu, pemerintah telah melakukan pembicaraan dengan PT PLN dan PT PGN. Mengenai besaran bagi hasil dengan menggunakan sistem GPSC, Evita mengatakan, pemerintah juga akan menghitung kembali atau melakukan penyesuaian.
Potensi CBM Indonesia cukup besar yaitu 453,3 TCF yang tersebar pada 11 cekungan hydrocarbon. Dari sumber daya tersebut, cadangan CBM sebesar 112,47 TCF merupakan cadangan terbukti dan 57,60 TCF merupakan cadangan potensial.
Presiden Direktur PT Energi Pasir Hitam (Ephindo), Sammy Hamzah mengatakan bahwa pengusaha CBM pada dasarnya menghargai niat pemerintah untuk menyederhanakan prosesnya. Namun, ia belum bisa memastikan bagaimana respons pengusaha terhadap kontrak tersebut. Karena mereka harus melihat dulu detailnya seperti apa.
“Cuma yang paling penting saya katakan kembali ke pemerintah, hati-hati jangan sampai ini membuat disinsentif,” ujar Sammy.
Menurut dia, saat ini momentum untuk pengembangan CBM cukup bagus. Sehingga pemerintah harus menjaga itu dengan cara menciptakan regulasi yang nyaman untuk para investor. Regulasi yang tidak tepat akan membuat investor malas dan tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal potensi CBM di Indonesia cukup tinggi.
Untuk itu, pihaknya mengajukan beberapa usul kepada pemerintah. Sayangnya, Sammy tidak merinci seperti apa usulan dari pengusaha. Ia hanya mengatakan bahwa usulan yang mereka ajukan tidak akan memiliki dampak yang negatif terhadap perkembangan bisnis CBM di Indonesia. Ia juga menyambut baik, usulan pemerintah yang tidak memaksakan sehingga kontraktor bisa memilih ingin menggunakan kontrak yang model apa.
“Jadi begini, kontraktor akan boleh pilih sistem EPC yang sekarang, kontraktor yang sudah ada kontrak pakai sistem yang sudah ada atau pindah ke sistem baru. Jadi tidak ada paksaan. Kami belum tahu paling bagus yang mana. Bu Evita masih melontarkan wacana dulu untuk liat reaksi investor. Sekarang dalam tahap bagaimana lihat detailnya,” kata Sammy.
Saat ini, perusahaannya, Ephindo telah melakukan pengeboran sumur pertama. Sedangkan sumur kedua masih dalam tahap pengerjaan dan minggu-minggu ini baru bisa selesai. Ia memperkirakan, hasilnya akan keluar dalam waktu 1,5 bulan ke depan. Sammy menjelaskan, sumur kedua ini, pengeborannya sudah sampai di kedalaman 800 meter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News