kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mandatori 10% biodiesel terancam mandek


Jumat, 30 Januari 2015 / 08:19 WIB
Mandatori 10% biodiesel terancam mandek
ILUSTRASI. Market Cap IHSG Terbesar di ASEAN, Cek Prediksinya Sampai Akhir Tahun 2023


Reporter: Muhammad Yazid, Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Efek penurunan harga minyak mulai mengguyurkan ancaman. Utamanya: ke program pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN sebagai campuran bahan bakar minyak atau BBM yang tahun ini sebesar 10%. Bahkan, program ini bukan mustahil terancam mandek. Harga minyak yang terus longsor membuat program mandatori BBN tak ekonomis. Apalagi, para produsen BBN juga minta kenaikan harga.

Immanuel Sutarto, Presiden Direktur PT Eterindo Wahanatama Tbk mengatakan, sepanjang Januari ini, Eterindo menghentikan suplai biodiesel ke Pertamina karena harga jualnya jauh di bawah biaya produksi. "Rencananya tahun ini kami akan menjual ke Pertamina sebanyak 36.000 ton, tapi kami hentikan karena Harga Indeks Pasar (HIP) memberatkan kami," ujar dia.

Harga indeks biodiesel yang ditetapkan pemerintah saat ini 103,48 dikali dengan acuan harga dari mean of platts Singapore (MOPS) yang sekarang di level US$ 540 per ton. Dengan hitungan itu, harga jual acuan biodiesel yang dibayar Pertamina Rp 5.400 per liter setara premium (lsp).

Harga ini pula yang menguarkan protes para produsen biodiesel. Dalam hitungan pengusaha, ongkos produksi BBN Rp 6.000 per lsp. Ini belum termasuk ongkos angkut. Sutarto menghitung, jika ditambah ongkos produksi dan angkut, harga jual biodiesel harusnya di atas Rp 8.000 per lsp.

"Ongkos produksi tinggi, karena komponen produksi tak berpengaruh harga minyak yang turun," ujarnya.

Paulus Tjakrawan, Ketua Asosiasi Produsen Biofeul Indonesia (Aprobi) bilang, rendahnya harga jual minyak mengancam industri biodiesel. "Penetapan HIP mengacu harga solar. Ini tak tepat, seharusnya sesuai dengan harga komponen industri sawit. Produsen rugi, kalau jualnya seperti harga solar yang saat ini turun," ujar Paulus.

Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bilang, Pertamina belum mampu memanfaatkan bahan bakar dari kelapa sawit itu untuk dicampur dengan BBM jenis solar karena tingginya harga jual biodiesel. Makanya, Kementerian ESDM akan minta tambahan subsidi biodiesel menjadi Rp 5.000 per lsp. Angka ini naik dari 2014 yang hanya Rp 3.000 per lsp.

"Kalau program harus harus jalan, kami usulkan tambahan subsidi," ujarnya. Targetnya, penyerapan biodiesel 3,41 juta kiloliter. Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika bilang, permintaan penaikan subsidi untuk biodiesel belum diputuskan karena DPR masih harus mendengar alasan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×