Reporter: Fahriyadi | Editor: Havid Vebri
NUSA DUA. Pemerintah Prancis menetapkan untuk memberlakukan pajak progresif untuk ekspor produk minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang masuk ke negara tersebut sebesar EUR 90 per ton.
Meski nilai pajak ini lebih rendah dari usulan awal sebesar EUR 300 per ton, tapi pajak ini tetap ditolak oleh pelaku usaha kelapa sawit.
Franky O. Widjaja, Chairman and CEO Golden Agro Resources (GAR) bilang, sebenarnya pasar Prancis tidak terlalu besar, tapi yang dipermasalahkan dari pemberlakuan pajak progresif ini adalah cara yang dipilih pemerintah Prancis dalam memberlakukan pajak ekspor CPO ini.
"Kami yang tidak suka adalah teriakan mereka sangat lantang soal ini dan bisa mempengaruhi negara Uni Eropa lainnya, dan jika itu terjadi bakal menjadi masalah besar buat pengusaha sawit," ujarnya, Rabu (16/3).
Selama ini Prancis menyerap CPO sekitar 400.000 ton, jumlah ini hanya 10% dari total ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa yang tiap tahun mencapai 4 juta ton.
Meski begitu, Franky bilang situasi yang terjadi di Prancis ini mencerminkan ketidakadilan dari negara maju kepada negara berkembang. Padahal, selama ini Indonesia telah berupaya dan berhasil mengembangkan produk kelapa sawit berkelanjutan atau sustainability palm oil lewat sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO).
Alasan Prancis menerapkan pajak progresif untuk produk sawit karena dianggap tidak ramah lingkungan patut di pertanyakan karena berdasarkan informasi yang diperoleh Franky, sejumlah negara Uni Eropa seperti Belgia dan Swedia ternyata hanya menyisihkan 10% luas lahannya untuk konservasi sedangkan sisanya diperuntukkan untuk pembangunan dan pertanian.
Menurut Franky, saat ini upaya membangun industri sawit berkelanjutan di Indonesia sudah mulai terlihat karena banyaknya perusahaan termasuk PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART), anak usaha GAR memilih intensifikasi ketimbang ekstensifikasi yang berarti membuka lahan baru.
Makanya, dia meminta kisruh ini dibawa ke World Trade Organization (WTO) sebagai pihak yang membuat regulasi dan menjembatani adanya perdagangan antar negara. "WTO harus bersikap karena kalau semua negara membatasi produk negara lain lewat pajak tinggi, WTO tak perlu ada lagi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News