kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.739.000   -3.000   -0,17%
  • USD/IDR 16.354   42,00   0,26%
  • IDX 6.516   -131,79   -1,98%
  • KOMPAS100 926   -15,28   -1,62%
  • LQ45 727   -11,27   -1,53%
  • ISSI 204   -5,48   -2,62%
  • IDX30 379   -5,12   -1,33%
  • IDXHIDIV20 454   -6,82   -1,48%
  • IDX80 105   -1,64   -1,53%
  • IDXV30 108   -1,53   -1,40%
  • IDXQ30 124   -1,87   -1,49%

Melongok Prospek dan Tantangan Industri Kimia di Tahun 2025


Sabtu, 15 Maret 2025 / 17:32 WIB
Melongok Prospek dan Tantangan Industri Kimia di Tahun 2025
ILUSTRASI. Industri kimia, khususnya petrokimia, menjadi salah satu sektor strategis yang menopang berbagai industri lain, mulai dari tekstil, otomotif, farmasi, hingga kemasan.


Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri kimia, khususnya petrokimia, menjadi salah satu sektor strategis yang menopang berbagai industri lain, mulai dari tekstil, otomotif, farmasi, hingga kemasan. 

Seiring dengan meningkatnya permintaan di dalam negeri dan kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan impor, tahun 2025 diprediksi menjadi tahun penuh peluang sekaligus tantangan bagi industri ini.  

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan, hampir seluruh aspek kehidupan modern bergantung pada produk petrokimia. 

“Dari pakaian yang kita kenakan, kemasan makanan, hingga komponen otomotif, semuanya berasal dari petrokimia. Industri ini memiliki nilai ekonomi yang sangat besar,” ujar Taufiek dalam acara diskusi 'Peluang dan Tantangan Industri Kimia sebagai Proyek Strategis Nasional dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi' di Jakarta, Jumat (14/3).

Taufiek menyebutkan, permintaan industri petrokimia di Indonesia masih tinggi, tetapi pasokan domestik belum mampu memenuhi kebutuhan. Sebagian besar produk masih diimpor, menciptakan potensi besar bagi investasi di sektor ini. 

"Jika kebutuhan ini bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri, maka nilai tambah ekonomi akan kembali ke Indonesia, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan pajak,” kata Taufiek.  

Baca Juga: Chandra Asri Gandeng IKPT Bangun Perluasan Pabrik MTBE dan Butene-1

Selain itu, pemerintah terus mendorong hilirisasi industri petrokimia untuk meningkatkan nilai tambah. Beberapa proyek strategis telah dirancang, seperti pembangunan kompleks petrokimia di Tuban dan pengembangan industri aromatik yang berperan penting dalam farmasi dan tekstil.  

Lebih lanjut, saat ini beberapa pemain besar di industri ini, termasuk Chandra Asri dan Lotte Chemical, tengah memperluas kapasitas produksinya.

"Kami ingin membangun ekosistem petrokimia yang terintegrasi, termasuk dalam sektor energi untuk memastikan ketersediaan bahan baku seperti nafta dan gas alam,” tambah Taufiek.  

Kemudian, saat ini, impor produk petrokimia Indonesia masih mencapai lebih dari US$ 9 miliar atau sekitar Rp 147 triliun. Dengan meningkatnya kapasitas produksi dalam negeri, peluang untuk mengurangi impor semakin besar, yang sekaligus dapat memperkuat ketahanan industri nasional.  

Tantangan yang dihadapi

Menurut Taufiek, salah satu tantangan terbesar adalah masih tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor, terutama nafta dan produk aromatik seperti benzene dan toluene, yang banyak digunakan dalam farmasi.  

Di sisi lain, ndonesia telah menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara, termasuk China dan Uni Eropa, yang memungkinkan produk petrokimia asing masuk dengan tarif 0%. Hal ini menambah tekanan bagi industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing.  

"Pembangunan fasilitas seperti cracker untuk menghasilkan olefin dan polimer membutuhkan dana triliunan rupiah, sehingga perlu kemitraan dengan investor besar,” jelas Taufiek.  

Untuk memastikan pertumbuhan industri ini, pemerintah berencana menerapkan berbagai kebijakan, termasuk insentif fiskal, pengendalian impor melalui instrumen seperti anti-dumping, dan percepatan pembangunan infrastruktur industri. 

“Kita perlu memastikan bahwa investasi di sektor ini tetap menarik, dengan menciptakan regulasi yang kondusif dan menjamin kepastian usaha bagi para pelaku industri,” kata Taufiek.  

Sementara itu, menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, tantangan industri petrokimia sangat kompleks. 

Salah satu aspek krusial adalah bagaimana industri ini bisa berkontribusi dalam skenario pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8% pada 2029. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran 5%. Untuk mencapai 8%, nilai tambah ekonomi perlu meningkat sekitar Rp300–Rp 400 triliun per tahun.  

Dalam skenario pertumbuhan tersebut, hampir semua sektor ekonomi harus tumbuh di atas 6%. Industri pengolahan, termasuk petrokimia, ditargetkan tumbuh sekitar 8–8,5%. Untuk subsektor kimia sendiri, pertumbuhan yang dibutuhkan berada di kisaran 6,2%. 

"Secara historis, industri ini pernah mencapai angka tersebut, tetapi tantangannya adalah menjaga pertumbuhan agar tetap stabil dari tahun ke tahun," jelasnya.

Menurutnya, pertumbuhan industri kimia tidak bisa lepas dari kebutuhan investasi. Untuk mencapai target pertumbuhan yang telah ditetapkan, investasi di sektor ini diperkirakan harus meningkat sekitar 8,12%. Investasi yang besar ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi, efisiensi, dan daya saing global.  

Baca Juga: Chandra Asri (TPIA) Proyeksi Pendapatan Tumbuh 4 Kali Lipat di 2025, Ini Pendorongnya

Namun, ada beberapa tantangan yang masih menghambat perkembangan industri kimia di Indonesia. Salah satunya adalah ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor. 

"Hingga saat ini, banyak bahan kimia dasar yang masih harus didatangkan dari luar negeri, membuat industri dalam negeri rentan terhadap fluktuasi harga global," jelasnya.

Selain itu, biaya logistik yang tinggi dan infrastruktur yang belum optimal turut menjadi hambatan. Biaya utilitas seperti gas dan listrik juga masih kurang kompetitif dibandingkan negara pesaing seperti Malaysia dan Thailand.  

Selain aspek infrastruktur dan biaya, industri kimia juga menghadapi tantangan regulasi dan lingkungan. Proteksi perdagangan dari negara mitra seperti hambatan non-tarif, anti-dumping, serta kebijakan ketat terkait lingkungan semakin menekan daya saing industri kimia nasional.  

Meski dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, industri kimia nasional memiliki peluang besar untuk berkembang. Salah satu keunggulan utama adalah pasar domestik yang sangat besar. 

Permintaan produk petrokimia di Indonesia terus meningkat, terutama dari sektor makanan dan minuman, alat angkutan, serta tekstil dan pakaian jadi. Dengan meningkatnya permintaan ini, industri kimia memiliki kesempatan untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat rantai pasok dalam negeri.  

Pemerintah juga telah memberikan berbagai dukungan melalui insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance, serta penyederhanaan regulasi investasi. Selain itu, kerja sama dengan mitra global diharapkan dapat meningkatkan transfer teknologi, inovasi, dan pengembangan industri kimia yang lebih ramah lingkungan.  

Untuk memperkuat daya saing, industri kimia perlu berfokus pada peningkatan efisiensi produksi dan optimalisasi penggunaan bahan baku dalam negeri. Pengembangan industri hulu dan hilir yang lebih terintegrasi juga akan menjadi kunci untuk meningkatkan nilai tambah dan mempercepat pertumbuhan sektor ini.  

"Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), riset, dan inovasi menjadi faktor penting. Dengan produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi dan efisiensi modal yang lebih baik, industri kimia dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," imbuhnya.

Selanjutnya: Tunggu PP Terbit, Kebijakan PPh Final 0,5% untuk UMKM Diperpanjang

Menarik Dibaca: 5 Drama Korea Ini Tampilkan Healthy Relationship Penuh Cowok Green Flag

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×