Sumber: Kompas.co | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Begitu defisit transaksi berjalan triwulan II-2013 mencatat rekor 9,8 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto, pemerintah langsung panik. Maklum, angka defisit ini melonjak dari defisit sebelumnya sekitar 5,8 miliar dollar AS pada triwulan I-2013. Lagi pula ini triwulan yang ketujuh transaksi berjalan mencatat defisit.
Masih segar dalam benak, defisit transaksi berjalan ini membuat nilai rupiah terpuruk. Indeks saham di Bursa Efek Indonesia juga jatuh bebas. Pasokan dollar AS ke cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) terus tergerus. Kebijakan bank sentral AS, The Fed, yang berniat mengurangi kebijakan pelonggaran likuiditas (tapering quantitative easing) semakin mendorong kejatuhan nilai rupiah dan saham.
Masih segar juga, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang, antara lain, akan menekan defisit perdagangan dan akhirnya juga defisit transaksi berjalan. Ini sebuah borok bagi daya tahan perekonomian Indonesia. Upaya yang dilakukan, antara lain, menekan impor minyak dan bahan baku minyak dengan mendorong penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit mentah (CPO) pengganti produk solar.
Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pekan lalu, nilai transaksi perdagangan Indonesia kembali defisit pada September 2013, yakni 657 juta dollar AS. Padahal, Agustus 2013, neraca perdagangan mencatat surplus 70 juta dollar AS. Defisit perdagangan ini dipicu defisit komoditas migas yang sebesar 1,15 miliar dollar AS. Adapun komoditas nonmigas justru surplus 490 juta dollar AS.
Ekspor migas pada September 2013 sebesar 2,515 miliar dollar AS. Impor migas bulan yang sama mencapai 3,669 miliar dollar AS. Nilai impor September 2013 terhadap Agustus 2013 untuk minyak mentah masih naik 20,88 persen, sementara untuk gas naik 2,67 persen. Adapun hasil atau produk minyak turun 8,87 persen. Hasil minyak seperti Pertamax, avtur, dan solar.
Ada yang menarik karena impor produk minyak menunjukkan tren menurun. Namun, tingginya pertumbuhan impor minyak mentah bulanan jelas harus segera dibenahi. Pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya masyarakat kelas menengah yang, antara lain, terlihat dari angka penjualan kendaraan bermotor yang tinggi, memerlukan impor migas yang tinggi. Hal yang logis, tetapi tak boleh terus ditoleransi.
Soalnya, kebutuhan migas tinggi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Seharusnya ada koreksi dalam kebutuhan karena harga BBM yang semakin mahal. Jika karena kebutuhan BBM yang bertambah, pemerintah perlu lebih mendorong penggunaan biodiesel. Di tengah permintaan CPO yang turun karena pasar global melesu, impor solar bisa ditekan dengan mengalihkan CPO ke biodiesel.
Pertanyaannya, apakah tekad pemerintah sudah dijalankan? Pemerintah menargetkan porsi biodiesel dalam konsumsi solar naik dari 1,9 persen menjadi 10 persen. Kebijakan ini diharapkan menghemat devisa senilai 2,8 miliar dollar AS. Bisa mengurangi tekanan defisit pada neraca transaksi berjalan. Sejauh ini belum ada informasi kuat pemerintah sudah melakukan tekad ini.
Defisit perdagangan kembali terjadi dan impor migas menjadi salah satu penyebab utama. Bagaimana dengan defisit transaksi berjalan triwulan III-2013? Pengamat memperkirakan masih defisit sekitar 8 miliar dollar AS. Agak membaik dibandingkan 9,8 miliar dollar AS pada triwulan II-2013. Kisah defisit ini tetap saja sebuah sinyal yang buruk bagi pasar.
Tidak bisa lain, upaya mengatasi sinyal buruk ini masih harus dilakukan pemerintah. Beralih ke biodiesel harus ada aksi nyata. Impor produk minyak solar harus ditekan maksimum. Defisit perdagangan dan transaksi berjalan harus diminimalkan. Ini sebuah borok dalam daya tahan ekonomi. (Pieter P Gero/Kompas cetak)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News