kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengikat Laba dari Tenun Ikat Sumba Timur


Kamis, 11 Juni 2009 / 19:45 WIB


Reporter: Dupla Kartini |

JAKARTA. Kerajinan seni dari berbagai daerah umumnya hasil warisan nenek moyang. Begitu pula dengan tenun ikat suku Sumba, yang coraknya berupa gambar binatang yang dianggap istimewa di masa nenek moyang suku Sumba.

Salah satu yang memiliki usaha tenun ini adalah Djunaidi Garib di Waingapu, Sumba Timur. Dia memulai usahanya sejak 1995 di bawah bendera UD Hidup Sabar. "Selain bernilai sejarah, saya lihat hasil tenun ikat punya prospek bisnis yang bagus," terangnya.

Sebab, selain kebutuhan masyarakat lokal untuk acara adat, banyak masyarakat luar yang meminati keunikan coraknya. Apalagi, hasil tenun ikat bisa dimodifikasi bentuknya menjadi jas, kemeja pesta, atau selimut tidur.

Djunaidi sendiri memproduksi tenun ikan berbentuk kain (untuk pria), sarung (perempuan), dan bentuk selendang. Bahan yang dipakai berupa benang pore (kapas) berwarna putih. Dia biasa membeli benang dari wilayah setempat seharga Rp 18.000 hingga Rp 30.000 per gulungan.

Satu lembar kain ukuran 1x3 meter setidaknya memerlukan 50 gulungan benang. Satu selendang bisa menghabiskan 10 gulungan.

Proses produksi dimulai dengan memintal benang dan memisahkannya di gulungan kecil, lalu dibentangkan dengan alat tenun. Kemudian dilakukan pewarnaan, di mana benang diikat dengan tali nila untuk memisahkan satu per satu coraknya.
"Pewarna untuk tenun ikat yang berkualitas dan asli, diambil dari pohon mengkudu, akar bakau, atau akar dan daun nila," terang pria 38 tahun ini.

Selembar tenunan Sumba Timur biasanya memakai 4 warna umum, yaitu biru, merah, putih dan hitam. Benang yang diikat dicelupkan pada warna pertama, kemudian ikatan dilepas sebagian, lalu dicelup ke warna berikutnya, dan seterusnya hingga selesai.

Usia pewarnaan, benang di keringkan 3 hingga 4 hari. Lalu, ditenun untuk menyatukan beberapa gambar atau polanya dengan alat tenun tradisional peninggalan nenek moyang yang disebut Heamba.

Setidaknya ada 4 gambar atau corak yang dipakai dalam satu kain tenunan, diantaranya gambar ayam, singa, udang, kuda dan ular naga. Corak ini didasarkan cerita leluhur suku Sumba yang berasal dari wilayah India.

Setiap kampung di Sumba punya pola atau corak berbeda. Misalnya untuk kampung Waingapu, asal Djuanidi, coraknya disebut Kambera dengan dominasi gambar ayam dan singa.

Proses pengerjaan satu lembar kain memakan waktu empat bulan hingga setahun untuk ukuran besar. Tak heran, harga jualnya cukup tinggi. Selembar hasil tenun bentuk kain dilego Rp 1,5 juta hingga Rp 12 juta. Sementara selembar sarung dihargai Rp 1,2 juta, dan selendang Rp 600.000 satu lembar.

Djunadi memproduksi sesuai pesanan, dan tidak berani produksi banyak karena bahan baku mahal dan proses pengerjaannya lama. Selain hasil tenunan 20 pengrajinnya, dia juga sering mengambil dari pengrajin lain untuk memenuhi pesanan. Permintaan rutin selain dari lokal, juga datang dari Bali, Bali, Jakarta, dan Amerika Serikat.

Dalam sebulan dia mengaku bisa menjual 40 hingga 50 lembar hasil tenun ikat berupa sarung, kain ataupun selendang. Omsetnya mencapai Rp 30 juta sebulan, dengan margin 20 persen.

Pria asli Sumba ini yakin prospek tenun ikat ini tetap bagus. Sebab, selain pemainnya hanya segelintir, masyarakat Sumba sendiri dipastikan selalu butuh hasil tenun ini untuk keperluan acara adat. Sebab, masyarakat Sumba asih kental adatnya, sehingga merasa malu kalau tidak punya sarung atau kain tenun ikat.

Djunaidi tidak repot memikirkan inovasi corak tenunannya. Sebab, katanya, justru karena keantikan corak dan polanya inilah maka banyak dicari orang, termasuk oleh kolektor asing. "kalau modifikasi bentuk masih mungkin, bisa dibuat baju, tirai, taplak meja atau tas," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×