Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Kebutuhan energi fosil seperti gas dan minyak di Indonesia masih cukup tinggi. Namun tidak dibarengi dengan meningkatnya produksi migas di dalam negeri. Alhasil, Indonesia pun saat ini menjadi negara net importir minyak.
Di sisi lain, harga migas yang tengah menurun membuat neraca perdagangan migas Indonesia masih mengalami defisit. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, neraca perdagangan migas pada November 2015 memang sudah sedikit membaik namun masih mencatatkan defisit.
Perbaikan neraca perdagangan migas didukung oleh kenaikan ekspor migas di tengah impor migas yang mengalami koreksi. Defisit neraca perdagangan migas pada November 2015 tercatat US$ 0,06 miliar, menurun dari defisit 0,38 miliar dolar AS pada bulan sebelumnya.
Ekspor migas meningkat 14,7% (mtm) yang didorong oleh meningkatnya ekspor minyak mentah dan gas. Sementara itu, impor migas turun 7,0% (mtm) seiring turunnya impor hasil minyak dan gas.
Pengamat energi, Komaidi Notonegoro mengatakan neraca migas Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang cukup mengkhawatirkan. Hal itu tercermin dari neraca dagang migas yang saat ini mengalami defisit.
"Intinya kita sudah net importir dan impornya sudah semakin besar karena kebutuhan dalam negeri meningkat terus,"ujar Komaidi pada KONTAN Jumat (18/12).
Melihat gambaran neraca migas tersebut, Komaidi menyarankan agar pemerintah melakukan upaya perbaikan secara pararel. Pemerintah harus bisa mengoptimalkan produksi di dalam negeri. Sementara untuk impor minyak dari luar negeri harusa bisa mencari pasokan minyak berkelanjutan dengan harga yang terbaik.
"Karena impor tidak bisa dihindarkan lagi tapi pilihannya cari yang paling bagus harganya,"ujar Komaidi.
Perbaikan produksi harus segera dilakukan dengan melakukan terus ekplorasi migas. Menurut Komaidi, dalam lima sampai enam tahun terakhir Indonesia tidak melakukan usaha yang berarti untuk memperbaiki produksi migas di dalam negeri.
" Ekplorasi butuh lima sampai enam tahun, sehingga produksi untuk tahun-tahun berikutnya dipanen dari enam tahun sebelumnya. Jadi kalau sekarang kita ga ada apa-apa, berarti enam tahun lalu kita tidak melakukan sesuatu,"imbuh Komaidi.
Padahal Indonesia memiliki potensi cadangan migas yang cukup besar. Namun selalu terbentur dengan permasalahan yang klasik seperti perizinan atau masalah insentif fiskal atau masalah tumpang tindih penggunaan lahan antar sektor.
"Hal yang sama yang setiap tahun telah disampaikan oleh pelaku. Ini mengindikasikan masalah tersebut dari tahun ke tahun belum selesai,"ucap Komaidi.
Menurut Komaidi, solusi permasalahan tersebut sangat mudah yaitu pemerintah mau mengakomodasi keluhan para pelaku industri migas karena semua domain ada di tangan pemerintah.
Kalau pemerintah ingin industri migas berjalan lancar, maka masalah di internal pemerintahan harus diselesaikan, seperti kordinasi masalah lahan dengan badan pertanahan nasional atau menjalin kordinasi dengan pemerintah daerah.
Dampaknya dengan terus timbulnya permasalahan klasik tersebut adalah tren produksi yang terus menurun sehingga ke depannya laju impor minyak di Indonesia akan semakin besar di tahun-tahun mendatang.
Dari sisi investasi migas pun Indonesia telah terkena dampak dari penurunan harga minyak. Memang penurunan harga minyak tidak hanya mengenai Indonesia, namun dampak yang lebih besar akan dirasakan oleh Indonesia karena dengan kompleksitas yang terjadi di Indonesia membuat iklim investasi di Indonesia kurang menarik bagi investor dan keberpihak pada investor pun masih kurang baik.
"Saya melihatnya Bapak Jokowi belum sampai ke masalah ini. Sementara Bapak Sudirman masih sibuk di masalah transparansi sehingga aspek-aspek mendasar justru agak terlupakan,"kata Komaidi.
Menurutnya, aspek transaparansi yang coba dibangun oleh Sudirman sudah cukup bagus tetapi disisi lain akan ada dampaknya, apalagi kalau upaya-upaya itu tidak dibarengi dengan penyelesaian masalah fundamental. Sehingga muncullah masalah-masalah yang bisa menghambat produksi migas seperti Blok Mahakam dan Blok Masela yang penyelesaiannya cenderung berlarut-larut.
Senior Manager Communicatioan and Relation Inpex Corporation (Inpex), Usman Slamet bilang hingga saat ini pemerintah masih melakukan kajian terkait revisi POD 1 mengenai sarana yang akan digunakan untuk mengalirkan gas produksi hasil Blok Masela. Ada dua opsi, yaitu menggunakan floating LNG atau membangun jalur pipa gas.
Posisi Inpex sebagai operator di Blok Masela pun saat ini hanya tingga menunggu keputusan dari pemerintah. Keputusan dari pemerintah tersebut sangat penting untuk kelanjutan proyek Blok Masela.
"Dari sisi kami tidak ada (kendala). Saat ini kami sedang menunggu dengan sangat keputusan yang dapat diberikan kepada KKKS di Blok Masela," imbuh Usman.
Sementra itu, para KKKS di beberapa proyek migas besar lainnya seperti proyek Jangkrik dan Proyek IDD tengah berusaha keras untuk bisa onstream sesuai rencana kerja yang telah ditetapkan.
Direktur Operasi Saka Energi, Tumbur Parlindungan mengtakan hingga saat ini proyek Jangkrik tidak mengalami masalah dan tetap berjalan sesuai rencana. "Rencananya akan produksi di tahun 2017," ucap Tumbur.
Optimisme Senada juga diungkapkan oleh Senior Vice President PGPA Chevron IndoAsia Business Unit, Yanto Sianipar yang mengatakan Chevron telah memperoleh semua persetujuan pemerintah untuk proyek IDD tahap pertama, yaitu pengembangan lapangan Bangka.
Chevron pun telah menyelesaikan program pemboran lapangan Bangka pada kuartal ke-4 tahun 2014. "Dan kami terus bekerja untuk memastikan proyek IDD tahap awal ini mencapai target produksi gas pertama tahun 2016,"kata Yanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News