Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Edy Can
JAKARTA. Proses renegosiasi kontrak karya dengan PT Newmont Nusa Tenggara masih alot. Pasalnya, perusahaan tambang emas ini belum mau menyepakati sejumlah poin renegosiasi yang diajukan pemerintah.
Salah satunya soal pembangunan unit pengolahan dan pemurnian (smelter) hasil tambang. "Pihak Newmont menganggap pembangunan smelter tidak ekonomis," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Sekretaris Tim Evaluasi untuk Penyesuaian KK dan PKP2B Thamrin Sihite, Jumat (21/9).
Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, setiap perusahaan yang telah memproduksi hasil mineral diwajibkan untuk melakukan pemurnian. Kewajiban pemurnian hasil tambang tersebut berlaku paling lambat 2014 mendatang.
Thamrin menilai alasan Newmont itu tidak masuk akal. Dia beralasan, sudah ada 185 perusahaan yang mengajukan diri untuk membangun fasilitas pengolahan kepada pemerintah. Hal itu menjadi bukti bahwa industri olahan tambang sangat potensial.
Selain itu, menurut dia, meskipun saat ini pembangunan pemurnian emas dan tembaga dinilai tidak ekonomis, namun dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan industri olahan akan semakin cemerlang. "Tidak ekonomis itu kan relatif. Kalau tidak ekonomis sekarang, belum tentu untuk jangka panjang, sekarang ini kan perusahaan mineral masih jarang di sana (Nusa Tenggara Barat)," tutur Thamrin.
Juru Bicara Newmont Nusa Tenggara Ruby Purnomo mengakui, pembangunan smelter belum feasible bagi perusahaannya. "Namun, kami akan mendukung jika ada pihak lain yang ingin membangun smelter di Indonesia," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News