Reporter: Handoyo |
JAKARTA. Harga udang melesat cukup tinggi sepanjang tahun ini. Jika pada akhir tahun lalu harga ekspor udang hanya US$ 4,42 per kilogram (kg), kini harga undang melambung 35,7% menjadi US$ 6 per kg.
Menurut Thomas Darmawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) kenaikan harga tersebut antara lain karena produksi udang secara nasional tahun ini turun. Pasokan yang seret mengerek harga udang.
Thomas mengatakan, AP5I menargetkan produksi udang tahun ini sebesar 460.000 ton. Namun, menurut perhitungan AP5I, hingga Oktober lalu, produksi udang nasional baru 280.000 ton. Karena itu, "Produksi udang hingga akhir tahun kemungkinan cuma bisa 350.000 ton," kata Thomas kepada KONTAN, (8/12).
Thomas mengatakan, produksi yang merosot ini merupakan imbas dari permasalahan yang melanda tambak di Bumi Dipasena Utama, Lampung. Maklumlah, sebanyak 30%-40% dari produksi udang nasional memang berasal dari Dipasena.
Selain penurunan produksi, kenaikan harga pakan juga menjadi salah satu penyebab kenaikan harga udang tahun ini. Tahun lalu, rata-rata harga pakan cuma Rp 10.000 per kg, tetapi sekarang sudah naik 10% menjadi Rp 11.000.
Dipasena panen kedua
Penurunan produksi ini juga menyebabkan ekspor turun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor udang September 2011 hanya 7.511 ton, turun 9,1% dibandingkan ekspor Agustus 8.268 ton.
Jadi, meski harga melejit, eksportir tak serta-merta diuntungkan. "Biaya produksi yang tinggi mengakibatkan margin tipis," kata Thomas. Tingginya harga pun membuat udang asal Indonesia tidak bisa bersaing dengan udang India yang berkisar US$ 3-US$ 4,5 per kg.
Sementara itu, walaupun listrik di Dipasena tak kunjung mengalir, namun tambak udang yang dulunya dikelola oleh PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) itu siap memasuki masa panen kedua. Towilun, Ketua Lembaga Manajemen Plasma Kampung Bumi Dipasena Utama mengatakan, setiap hari sekitar 7.225 petambak di sana bisa menghasilkan 20 ton udang.
Ia mengakui, produksi ini tak seberapa bila dibandingkan saat Dipasena masih bermitra dengan PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), induk AWS. "Kami menyesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada," kata Towilun.
Maklumlah, sejak putus hubungan dengan AWS, Dipasena tidak dialiri listrik sehingga kegiatan tambak tidak maksimal. Kemudian, bila saat bermitra dengan CP Prima petambak bisa menebar 100.000 benur, kini hanya mampu menebar setengahnya.
Meskipun begitu, menurut Towilun, petambak bisa menikmati harga yang lebih tinggi. Towilun menerangkan, sebanyak 60% petambak mengembangkan udang vaname dan sisanya membudidayakan udang windu. Saat ini, harga jual udang vaname mencapai Rp 44.000 per kg, lebih tinggi dari harga jual ke CP Prima yang Rp 34.000 per kg. Sementara harga udang windu mencapai Rp 65.000 per kg.
Keuntungan yang lebih baik juga diakui oleh Mujiono, petambak lainnya. Pada panen bulan Oktober lalu, Mujiono mengaku bisa mendapatkan keuntungan Rp 3 juta-Rp 4 juta dari hasil menebar 20.000 benur. Ia memprediksi penjualan pada panen kedua bisa mecapai Rp 67 juta, dari penebaran 120.000 benur.
Menanggapi aliran listrik yang belum juga masuk ke Dipasena, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanana (KKP) Ketut Sugama mengatakan, pihaknya tidak bisa masuk lebih jauh lantaran para petambak masih ada persoalan dengan AWS. "Kapasitas kita hanya bisa membantu diluar permasalahan dua belah pihak," ujar Ketut. Meskipun begitu, Ketut berjanji enam bulan ke depan permasalahan ini akan selesai sehingga aktivitas normal kembali. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News