Reporter: Handoyo |
JAKARTA. Keluhan sulitnya mendapatkan bahan baku rotan oleh pelaku industri rotan diperkirakan akan terus berlangsung. Pasalnya, pasokan rotan saat ini dari industri hilir seperti Kalimantan berkurang hingga 33,3% dibandingkan saat belum diberlakukannya peraturan larangan ekspor rotan mentah awal 2012.
Herman Yulius, Ketua Umum Asosiasi Rotan Kalimantan Indonesia (Arki) menghitung, saat ini rata-rata jumlah panenan rotan mentah dari Kalimantan mencapai kurang dari 2.000 ton per bulan. Padahal sebelum diberlakukannya peraturan menteri perdagangan (Permendag) tentang larangan impor rotan dalam bentuk barang mentah jumlahnya bisa mencapai 3.000 ton per bulan.
"Selain pasokan rotan yang berkurang, harga rotan mengalami peningkatan," terang Yulius (23/2). Harga rotan mentah untuk industri lokal berada di kisaran Rp 13.000 per kg, padahal sebelumnya Rp 11.000 per kg. Sementara harga rotan yang biasa dijual untuk ekspor mengalami penurunan dari Rp 10.000 per kg sebelum diberlakukan penghentian ekspor menjadi Rp 7.000 per kg.
Sekedar informasi, untuk satu lonjor tanaman rotan terdiri dari dua bagian yakni untuk kualitas ekspor dan dalam negeri. Namun dari jumlah tersebut, jumlah batang yang dapat diterima untuk industri dalam negeri kurang dari setengahnya.
Petani enggan memanen
Lisman Sumardjani, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) menambahkan, meskipun terjadi peningkatan harga rotan namun kebutuhan rotan untuk industri lokal yang terbatas membuat keengganan petani rotan untuk memanen. "Dulu petani bisa memanen hingga 7-8 jenis, tetapi sekarang tinggal 2-3 jenis saja," papar Lisman.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, penghentian ekspor rotan mentah berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kemendag, nilai ekspor barang jadi rotan mencapai US$ 27 juta.
"Nilai ini setara dengan nilai ekspor bahan jadi rotan selama 12 bulan sebelumnya (2011), yaitu sebesar USD 32 juta,” klaim Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dalam siaran pers (21/2).
Selain pelarangan ekspor rotan mentah, pemberlakuan verifikasi pengiriman rotan yang melibatkan lembaga surveyor independen PT Sucovindo juga dikeluhkannya. Aturan ini dinilai diskriminatif bagi pengusaha rotan. Pasalnya pengusaha mebel yang lain selain rotan tidak harus ada verifikasi.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Gunaryo mengungkapkan, untuk melakukan verifikasi tersebut melibatkan lembaga surveyor independen yakni PT Sucofindo. Selain itu, hanya tiga kawasan yang diverifikasi yakni pelabuhan, terminal rotan atau pengumpul rotan serta industri. "Kami harus luruskan, sehingga tidak terjadi kekeliruan," tegas Gunaryo kemarin (10/2).
Kebijakan mengenai verifikasi itu tercantum dalam Permendag Nomor 36/M-Dag/PER/11/2011 dan didukung oleh Peraturan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 09/PDN/PER/01/2012. Pengangkutan rotan yang dimaksud adalah pengangkutan antar pulau, antar provinsi dan antar pelabuhan, meskipun dalam satu pulau atau provinsi.
Verifikasi tersebut, menurut Gunaryo akan membuat alur lalu lintas rotan menjadi tercatat dengan baik. Setiap pergerakan rotan dari pelabuhan muat kepelabuhan tujuan agar bisa diprediksi jumlah, jenis dan waktunya.
Berdasarkan data Sucofindo dari tanggal 1 Januari hingga 9 Februari tahun ini, lalu lintas rotan dari Banjarmasin ke beberapa wilayah seperti Cirebon mencapai 1.960 ton, Surabaya 1.541 ton, Jakarta 152 ton, Semarang 15 ton, Medan dan Denpasar 6 ton.
Sementara lalu lintas pengapalan rotan dari Makassar ke Surabaya sebanyak 141 ton, dan Makassar ke Cirebon mencapai 100 ton. Pengiriman rotan dari Manado ke Surabaya mencapai 27 ton, dan dari Palu ke Surabaya sebanyak 244 ton
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News