Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai rencana pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara lewat kenaikan royalti izin usaha pertambangan tidaklah tepat. Pasalnya, kenaikan pungutan menjadi 10% tersebut makin memberatkan pengusaha pertambangan ketika harga jual batubara di pasar internasional masih rendah.
Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif APBI mengatakan, sejatinya penerapan bea keluar akan sangat efektif untuk mendongkrak pemasukan negara mengingat tingginya ekspor batubara nasional selama ini. "Nah, kalau pemerintah ingin menerapkan pajak ekspor, samakan dulu royalti seluruh perusahaan tambang," katanya Kamis (30/5).
Seperti diketahui, besaran royalti yang dikenakan pada perusahaan tambang batubara pemegang konsesi IUP mencapai 3% untuk produksi batubara dengan kualitas di bawah 5.100 kcal/kg, untuk kualitas batubara antara 5.100 kcal/kg hingga 6.100 kcal/kg dikenakan 5%, dan batubara dengan kualitas di atas 6.100 kcal dikenakan royalti 7%.
Sementara, untuk perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) juga dikenakan tarif royalti. Namun, tarif royaltinya tidak dihitung dari kualitas batubara dan disamaratakan sebesar 13,5% dari hasil penjualan.
Menurut Suprihatna, kenaikan tarif royalti untuk IUP menjadi 10% ini tentunya akan memberatkan sebab kebanyakan merupakan perusahaan dengan produksi kecil. Ia mencontohkan, pada awal tahun ini sekitar 30-an perusahaan IUP di Jambi terpaksa menghentikan produksi batubara lantaran harga batubara sedang rendah.
Karena itu, Suprihatna lebih sepakat dengan rencana pengenaan bea keluar untuk peningkatan penerimaan negara. Tahun 2012 lalu, dari 386 juta ton produksi batubara nasional, sebanyak 304 juta ton dipasok untuk ekspor, dan sisanya mencapai 82 juta ton untuk kebutuhan domestik.
Sebelum menerapkan bea keluar, ia meminta pemerintah untuk menyeragamkan besaran royalti antara IUP dan PKP2B. "Jangan royalti IUP yang dinaikkan, namun royalti dari PKP2B yang diturunkan dan disamakan dengan IUP," ujar dia.
Ekawahyu Kasih, Sekretaris Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, meskipun secara hitung-hitungan besaran royalti IUP lebih kecil dari PKP2B, namun sejatinya beban bukan pajak yang dikeluarkan relatif sama. Sebab, terdapat pungutan lain yang juga harus disetorkan pengusaha IUP ke pemerintah daerah selaku pemberi perizinan.
Dengan demikian, pihaknya keberatan pemerintah yang akan menaikkan tarif royalti menjadi 10%. "Pemerintah jangan hanya sibuk mengurus yang kecil-kecil saja, sedangkan perusahaan besar malah terproteksi," kata dia.
Padahal, lanjut Ekawahyu, selama ini pengusaha pemegang IUP juga masih terkendala infrastruktur yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Misalnya, sarana jalan lintas menuju pelabuhan serta kesulitan dalam pembebasan lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News