Reporter: Narita Indrastiti |
JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menerapkan Hasil Devisa Ekspor dinilai pengusaha masih terburu-buru. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik Haryadi Sukamdani mengatakan, seharusnya bank sentral juga memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab para pengusaha memilih untuk memarkir uangnya di bank luar negeri.
"Prinsipnya kebijakan itu ditempuh BI untuk repatriasi devisa. Tapi harus dicari penyebabnya juga dong. karena saat ini kan rezim devisa bebas," ujarnya saat dihubungi Kontan, Kamis (15/9). Menurutnya, hal yang membuat banyak pengusaha masih betah menaruh hasil ekspornya di luar negeri adalah kemudahan perbankan luar negeri meminjamkan uang. "Mereka menaruh uang di luar untuk pendanaan, mendapatkan biaya atau cost. sehingga dana yang digunakan lebih murah. Kalau bank di Indonesia lebih mahal. Inilah yang tidak disukai sektor riil," ujar Haryadi.
Kebijakan ini dinilai bisa memberatkan pengusaha lantaran birokrasi perbankan di Indonesia tidak semudah di luar negeri. Ia mencontohkan, jika ingin meminjam uang di perbankan di Indonesia, pengusaha harus menjaminkan uang sebesar 100%. Sementara di bank luar negeri seperti Singapura, dengan penjaminan 20% atau 25%, perusahaan sudah bisa meminjam uang.
"Ini yang harus diperhatikan serius oleh BI. Mau pinjam uang saja susah. Sebenarnya PBI lalu lintas devisa ini bukan menyulitkan, kami mendukung saja, asalkan juga dibarengi dengan perbaikan-perbaikan regulasi di perbankan," katanya.
Dia juga masih mempertanyakan instrumen yang digunakan BI untuk mengenakan sanksi terhadap eksportir yang tidak mematuhi peraturan ini. "Saya mau tanya, instrumen apa yang dipakai BI untuk memberikan sanksi kepada eksportir? Perbankan kita seenaknya sendiri. Bunga terlalu tinggi, interest-nya tidak turun-turun, orang lain punya akses ke luar negeri dan dia akan menggunakan kredit investasi," ujarnya.
Sementara itu Sofyan Wanadi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tidak ingin berkomentar lebih jauh mengenai PBI ini karena pihaknya masih akan melakukan pembahasan tersebut dengan BI, pekan depan. "Akan membicarakan dulu, karena kami masih mempertanyakan wewenang BI terhadap hal ini," ujarnya.
Dia bilang, kasak-kusuk yang sudah beredar mengenai beleid dari BI ini sudah membuat beberapa pengusaha ketakutan sehingga berpengaruh pada penurunan saham eksportir. "Saya belum mau berkomentar sebelum bertemu dan membahas langsung dengan BI. Saya tidak ingin menimbulkan spekulasi lagi. Yang pasti, aturan ini menimbulkan kecemasan dan membuat orang lebih berhati-hati. Akhirnya saham kita turun sekarang," ujarnya.
Sama seperti Haryadi, dia juga mempertanyakan wewenang BI untuk memberikan sanksi kepada eksportir. "Kalau pemerintah memang bisa memberi sanksi untuk kita. Tapi kalau BI apa hubungannya? Ini enggak nyambung," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News