Reporter: Agung Hidayat | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Penjualan kaca lembaran PT Asahimas Flat Glass Tbk sampai dengan kuartal pertama turun 3,7%, menjadi Rp 661 miliar. Padahal, pendapatan dari kaca lembaran masih mendominasi penjualan AMFG sebesar 60%.
Christoforus, Sekretaris Perusahaan PT Asahimas Flat Glass Tbk, melihat kondisi bisnis kaca lembaran sejak tahun lalu memang over supply.
Lebih lanjut ia mengatakan bisnis kaca lembaran sangat tergantung dengan iklim konstruksi, khususnya pembangunan housing dan office building dimana produk perseroan banyak terserap di sana. Namun sampai di kuartal pertama kemarin, sektor konstruksi dirasa stagnan.
“Sehingga proyek-proyek yang ada kebanyakan realisasi dari proyek tahun lalu. Soalnya kaca itu biasanya terkait finishing, diujung proyek baru dipasang,” kata Christoforus kepada KONTAN usai Rapat Umum Pemegang Saham berlangsung, Jakarta (9/6).
Untuk tahun ini, Christoforus mengatakan perseroannya menargetkan pertumbuhan yang moderat, yakni hanya 5% saja. Optimisme ini dipupuk selain dari menanti tren membaiknya sektor konstruksi, juga didorong oleh bisnis kaca otomotif yang tumbuh cukup pesat. Sampai dengan kuartal pertama kemarin, AMFG memeroleh penjualan kaca otomotif senilai Rp 315 miliar, naik 10% dibanding tahun sebelumnya Rp 286 miliar.
Christoforus menyebutkan hampir semua OEM jepang di Indonesia telah bekerjasama dan menggunakan produk kaca otomotif dari Asahimas. Sementara itu, penambahan OEM baru ke depannya sangat dimungkinkan. Dia mengatakan pihak salesnya sempat berbincang dengan salah satu pabrikan mobil China yang baru di Indonesia soal penggunaan kaca otomotif. “Tapi belum confirm, jadi belum pasti,” ucapnya.
Kapasitas produksi Asahimas untuk kaca otomotif saat ini adalah 5 juta meter persegi per tahun, atau setara penggunaan 1,5 juta unit mobil. Untuk utilitas sekitar 80%.
Sementara itu, untuk pasar ekspor, AMFG belum akan melakukan perluasan pasar. Sampai dengan kuartal pertama, pasar ekspor terbesar masih berada di Asia dengan nilai Rp 290 miliar. Sisanya ada Australia, Selandia Baru dan Eropa.
Christoforus mengaku untuk kompetisi di ekspor, perusahaannya cukup kewalahan lantaran harus bersaing dengan negara-negara yang memiliki harga gas lebih murah. “Misalnya di Malaysia yang harganya sekitar US$ 5 per mmbtu, di sana ada dua pabrik China yang baru investasi,” katanya.
Untuk itu, AMFG berharap agar harga gas lebih kompetitif. Bagi Asahimas harga US$ 9 per mmbtu masih terlalu mahal. “Jika tidak bisa menyamai harga negeri tetangga, seenggaknya bisa US$ 7 per mmbtu mungkin lebih baik,” sebut Christoforus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News