Reporter: Bunga Claudya, Muhammad Yazid | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memprotes kebijakan kewajiban penggunaan nilai tukar rupiah yang akan diberlakukan pada 1 Juli depan. Gabungan pengusaha tambang ini meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan tersebut.
Pandu P Sjahrir, Ketua Umum APBI mengatakan, sedikitnya ada enam alasan yang membuat pihaknya menolak penerapan kewajiban penggunaan rupiah. Pertama, keharusan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Republik Indonesia tersebut bertentangan dengan surat keputuan Menteri Keuangan yang diberikan ke mayoritas pengusaha tambang.
"Mayoritas anggota APBI sudah mendapatkan SK dari Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan perusahaan dalam mata uang asing. Kebijakan baru ini dikhawatirkan berakibat pada gangguan modal dan investasi asing," kata dia ketika konferensi pers di kantornya, Senin (29/9).
Kedua, Direktur Jenderal Pajak telah memberikan restu kepada sejumlah anggota APBI selaku wajib pajak untuk dapat menggunakan mata uang selain rupiah. Ketiga, penetapan harga batubara acuan (HBA) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menggunakan Dolar Amerika Serikat.
Dengan demikian, harga komoditas batubara nasional sangat terikat dengan perdagangan internasional. "Sulit bagi pengusaha untuk mengonversi dolar hasil penjualan batubara, karena resiko kerugian karena nilai tukar sangat tinggi," ujar Pandu.
Keempat, perusahaan pemegang konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) sudah dijamin menggunakan mata uang asing selain rupiah. Sehingga, kata Pandu, Peraturan BI tersebut bertentangan dalam kontrak yang berlaku.
Kelima, peralatan tambang umumnya dibeli dalam dolar AS, apabila transaksi tersebut dikonversi ke rupiah maka akan terjadi kesenjangan antara transaksi pengadaan dan transaksi perolehan. Terakhir, penggunaan mata uang selain rupiah juga telah diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 10/2015.
Pandu bilang, pihaknya juga telah mengirimkan surat resmi ke Bank Indonesia untu menolak kebijakan tersebut. "Kebijakan ini bisa disiasati dengan hedging untuk keamanan pergerakan nilai tukar, tapi itu perlu cost yang tidak sedikit," kata Pandu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News