kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Populasi sapi lokal turun 19,5%


Kamis, 27 Juni 2013 / 08:03 WIB
Populasi sapi lokal turun 19,5%
ILUSTRASI. Manfaat Cranberry untuk Kesehatan Tubuh


Reporter: Handoyo, Maria Elga Ratri, Fitri Nur Arifenie | Editor: Fitri Arifenie

JAKARTA. Maraknya pemotongan sapi betina berujung kepada turunnya populasi sapi nasional. Berdasarkan sensus pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima KONTAN, tahun ini, populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau anjlok 19,5% dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya.

Sampai dengan pelaksanaan sensus per 3 Juni 2013, menurut hitungan BPS, populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau sekitar 13,27 juta ekor. Padahal pada periode tahun sebelumnya, populasi ternak sapi dan kerbau mencapai sekitar 16,49 juta ekor.

Penurunan populasi sapi dan kerbau itu terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia terutama wilayah sentra populasi sapi. Di Jawa Timur, populasi sapi turun 26,16%. Sedangkan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, populasi sapi merosot 24,87% sampai 28,37%. Begitu pun dengan populasi sapi dan kerbau di Nusa Tenggara. Jumlahnya merosot hampir 15%.

Teguh Boediyana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), menyatakan, penurunan populasi ternak ini akibat Kementerian Pertanian (Kemtan) salah menghitung antara kebutuhan (demand) dan persediaan (supply). Buntutnya, harga sapi bakalan hidup cukup tinggi.

Para peternak pun malah terangsang segera menjual ternaknya untuk dipotong. Efeknya selanjutnya, pasokan sapi lokal terus terkuras. "Angka sensus ini jauh sekali dengan proyeksi pemerintah yang seharusnya mencapai lebih dari 18 juta," kata Teguh, Rabu (26/6).

Soehadji, Ketua Umum Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN) juga mengatakan penurunan kuota impor sapi bakalan berdampak kepada penurunan populasi sapi di dalam negeri. "Terjadi pemotongan sapi betina produktif," katanya.

Syukur Iwantoro, Direktur Jenderal (Dirjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengaku belum mendapatkan informasi tentang hasil survei sensus sapi. "Sensus ini masih berlangsung, kalau tidak salah, pertengahan Juli nanti sensus akan selesai," katanya

Investasi peternakan

Agaknya, jurang pasokan dan kebutuhan daging sapi di Indonesia ini menjadi peluang bisnis nan menggiurkan. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), misalnya, berniat investasi peternakan sapi di Australia. Ismed Hasan Putro, Direktur Utama RNI, Ismed Hasan Putro mengklaim sudah menjajaki dengan PT Pupuk Indonesia Holding Company dan Perum Bulog untuk membentuk konsorsium.

Adapun total dana investasi yang diperlukan untuk membuka lahan pengembangan sapi mencapai Rp 300 miliar. "Teknisnya, kami masih menunggu Kementerian BUMN," kata Ismed.

Ismed menyatakan, niat ekspansi di Australia itu untuk mendukung bisnis daging sapi yang digeluti RNI. Di dalam negeri, RNI memiliki peternakan sapi plasma dan kandang sapi di lima daerah yakni Indramayu, Majalengka, Subang, Baturaja dan Lombok.

Kelima peternakan tersebut memasok daging sapi ke pasar lokal. Salah satu jalur distribusinya adalah melalui Rajawali Mart, jaringan ritel milik RNI.
Rabu (26/6), RNI mulai meluncurkan kemasan daging beku dengan merek "Raja Daging". Daging sapi ini dibanderol dengan harga Rp 70.000 hingga Rp 120.000 per kilogram (kg). "Kami menggunakan tiga jenis sapi yakni simental, limousin dan sapi bali," katanya. Kemasan Raja Daging terdiri dari tiga jenis yakni 1 kg, 3 kg dan 5 kg.

Saat ini pemasaran Raja Daging baru menjangkau Jakarta dan Bali. Pada tahap awal, RNI menargetkan bisa menjual daging sapi sekitar 250 ton per bulan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×