Reporter: Agustinus Beo Da Costa, Muhammad Yazid | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ada baiknya, pemerintah melihat fakta sesungguhnya sebelum mengeluarkan aturan. Inilah yang tecermin dari upaya pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN).
Kewajiban pencampuran bioetanol 1% dalam bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang sedianya berlaku sejak 1 September 2013 harus molor. Pemerintah memutuskan penerapan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 25/ 2013 itu paling cepat baru bisa dilakukan bulan Oktober nanti.
Kondisi lebih baik adalah kewajiban pencampuran biodiesel sebesar 10% kini bisa terlaksana di 70% wilayah. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana bilang, pencampuran biodiesel bisa berjalan lantaran produksi dan infrastrukturnya sudah siap. "Saat ini, total produksi biodiesel dari sekitar 15 perusahaan mencapai 5,6 juta kilo liter (KL) per tahun," katanya. Khusus bioetanol, realisasi pencampuran 1% masih dalam proses.
Dari pertemuan dengan produsen dan industri pengguna bioetanol terungkap, baru PT AKR Corporindo Tbk yang telah melengkapi fasilitas terminalnya untuk pencampuran bioetanol. "Pertamina tengah merevitalisasi fasilitas, Shell juga masih menyelesaikan pembangunan fasilitasnya, Total malah kaget dengan aturan itu," katanya.
Kondisi ini masih ditambah dengan pasokan bahan baku bioetanol yakni tetes tebu (molases) yang belum jelas. Menurut Dadan, saat ini, baru PTPN X yang memiliki kapasitas produksi 30.000 kilo liter (KL) tetes tebu per tahun. Itu pun baru mulai berproduksi Oktober nanti. Sementara kebutuhan bioetanol tahun ini sebanyak 2.500 KL dan tahun 2014 164.000 KL.
Celakanya, meski bahan baku ada, produsen bioetanol belum bisa memasok ke industri lantaran belum ada kesepakatan harga. Asal tahu saja, pemerintah mematok harga bioetanol Rp 6.000 per liter. Padahal, saat ini biaya produksi bioetanol dalam negeri Rp 8.000 per liter.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Poernadi Djojosudirdjo mengakui, formula penentuan harga tetes tebu sangat rumit. "Soalnya, harga ekspor tetes tebu selalu berfluktuatif dengan posisi harga yang relatif tinggi," ungkap dia.
Harga molases cenderung naik ada larangan ekspor molases di Thailand. Akibatnya biaya produksi bioetanol di dalam negeri tinggi. "Jika bioethanol sudah bisa dibuat dari sampah, harganya bisa lebih murah," imbuh Poernadi.
Gara-gara ini pula, produsen bioetanol memilih tidak berproduksi dulu sampai mendapatkan harga yang layak.
Problem ini menjadi dilematis bagi pengguna. Ali Mundakir, Vice President Corporate Communication Pertamina bilang, SPBU Pertamina sebenarnya pernah melakukan pencampuran bioetanol 1% ke dalam BBM nonsubsidi. "Tapi, proyek itu kami hentikan karena pemain lain tak mencampur. Harga menjadi tak kompetitif karena bioetanol mahal," ujar dia.
Tersendatnya penerapan pengunaan BBN ini tak pelak akan membuat upaya pemerintah menekan penggunaan BBM impor sulit terlaksana. Ada baiknya pemerintah berpaling ke energi lain, gas misalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News