kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,86   -7,49   -0.80%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proyek transmisi kabel bawah laut diproyeksikan menelan investasi US$ 42,15 miliar


Jumat, 15 Oktober 2021 / 11:09 WIB
Proyek transmisi kabel bawah laut diproyeksikan menelan investasi US$ 42,15 miliar


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Herman Darnel Ibrahim Direktur Transmisi dan Distrbusi PT PLN (Persero) periode 2003 – 2008 menjelaskan bahwa proyek transmisi bawah laut yang membentang dari Australia ke Singapura untuk mengirimkan listrik dari tenaga surya, dipastikan menelan investasi yang tidak kecil.

Pakar ketenagalistrikan yang juga sebagai anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2021 – 2025 tersebut dalam kajian berjudul “Estimasi Biaya Listrik PLTS Sumba dengan Transmisi HVDC 3 GW Sumba – Paiton” menyebutkan jalur HVDC dari Sumba, NTT ke Paiton, Jawa Timur untuk kapasitas listrik dari energi surya sebesar 3 GW dengan jarak kabel bawah laut sekitar 760 km membutuhkan biaya total US$42,15 miliar atau sekitar Rp611 triliun.

Proyeksi nilai investasi Rp 611 triliun itu terdiri atas kabel HVDC, converter, PLTS (solar PV), konstruksi sipil, sewa lahan untuk modul surya, bunga bank selama konstruksi, battery storage, dan komponen lainnya.

Ia melanjutkan, berdasarkan hasil kajiannya, tarif listrik dari energi surya yang dikirimkan melalui kabel submarine dari Australia – Singapura bisa di atas US$25 sen per kWh. Perinciannya adalah untuk kabel bawah laut sepanjang 4.200 km, biaya tambahan US$14 sen per kWh. Harga listrik dari solar PV sekitar US$4 sen – US$8 sen per kWh (tergantung bunga bank).

"Kemudian biaya battery storage dan biaya lainnya. Jadi, tarif listrik tenaga surya yang dikirim dari Australia ke Singapura bisa mencapai US$28 sen per kWh [Rp4.060 per kWh]. Padahal, tarif dasar listrik di Indonesia di kisaran Rp1.400 per kWh," paparnya sebagaimana tertulis dalam keterangan resmi yang diterima Kontan, Jumat (15/10).

Herman menambahkan bahwa konstruksi kabel yang panjang harus digelar langsung di dalam laut, kemudian dibuat lubang kabel di bawah laut untuk keamanan agar tidak bergeser akibat arus laut atau pergeseran lempeng bawah laut. Menurutnya, hal ini tentu kian menambah biaya investasi.

Rencana pembangunan transmisi bawah laut sepanjang 4.200 kilometer (km) yang membentang dari Darwin, Australia – Singapura melalui Laut Timor dan perairan Indonesia sangat spektakuler. Transmisi melalui kabel bawah laut itu menjadi rencana kabel bawah laut terpanjang di muka bumi. Proyek transmisi bawah laut yang akan mengirimkan energi surya sekitar 3 gigawatt (GW) ini akan dibangun oleh Australia-Asia PowerLink (AAPowerLink).

Baca Juga: Pemerintah ajukan Rp 55,88 triliun untuk PMN 2022, BUMN mana saja yang dapat?

Di sisi lain, perusahaan asal Australia, Sun Cable, juga akan membangun jaringan kabel bawah laut senilai US$2,58 miliar atau yang terbesar di dunia.

Herman mengamati, sampai saat ini transmisi bawah laut High Voltage Direct Current (HVDC) terpanjang di dunia adalah North Sea Lin yang menghubungkan Inggris – Norwegia sepanjang melalui perairan North Sea sepanjang 720 km dengan tegangan 515 kilovolt (kV) dan mengalirkan lisrtik berkapasitas 1,4 GW.

Adapun dengan rencana transmisi submarine sepanjang 4.200 km yang akan membentang dari Darwin, Australia – Singapura, pihaknya menilai harus ada persiapan dari sisi manufaktur. Herman berkata, penggelaran langsung di bawah laut, pengangkutan kabel sepanjang 4.200 km dari pabrikan menuju ke bawah laut, memiliki potensi sabotase, kehilangan daya (losses), terkena jangkar kapal, dan potensi-potensi gangguan lainnya.

"Lagipula, kenapa harus dari Australia? Kenapa bukan dari China yang jaraknya lebih dekat dan bisa melalui darat serta memiliki Gurun Taklamakan? Selain itu, potensi losses sangat besar, ada risiko kabel terkena jangkar atau ada sabotase sehingga sangat berisiko," sambungnya.

Herman melanjutkan, tantangan lainnya adalah dari sisi konstruksi kabel dari pabrik langsung ke kapal digelar di kapal. Menurutnya tidak boleh ada sambungan kabel sepanjang 4.200 km dan perlu mencari solusi agar tidak ada sambungan di dalam air.

Ia memberi contoh pula, jika pada 2008 Malaysia memiliki cadangan sumber listrik dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air) di Serawak hingga 20 gigawatt (GW), sedangkan beban puncak di Serawak saat itu hanya 2 GW, masih ada potensi 18 GW yang dapat disalurkan ke Semenanjung.

"Rencananya listrik tersebut akan dikirim melalui kabel bawah laut sepanjang 800 km. Saat itu Malaysia diskusi dengan saya. Saya menyampaikan bahwa karakteristik kabel bawah laut itu jika rusak, maka rusak total. Kemudian kalau terkena jangkar, akan terjadi losses daya. Tidak hanya kerugian kabel, tetapi penyediaan listrik skala besar jika mengandalkan kabel bawah laut sangat tidak aman,” paparnya.

Malaysia, tuturnya, akhirnya menunda keputusan untuk tidak mengirim listrik dari Serawak ke Semenanjung melalui kabel HVDC. "Kabel bawah laut bisa saja dibangun, tetapi hanya sebagai daya cadangan, bukan sebagai suplai utama. Hal itu pula juga berpotensi akan menambah biaya investasi," tutupnya.

Selanjutnya: Pemerintah siapkan suntikan modal ke BUMN tahun depan sebesar Rp 58,88 triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×