Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemungkinan besar PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex bukan menjadi perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) terakhir yang pailit. Nasib serupa terancam dialami oleh produsen lainnya di tengah tekanan berat industri TPT nasional.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, saat ini sudah ada 30 perusahaan di industri pemintalan dan pertenunan yang tutup atau tidak beroperasi. Adapun contoh anggota APSyFI yang sudah berhenti produksi adalah PT Rayon Utama Makmur (Sukoharjo, Jawa Tengah) dan PT Sulindafin (Banten).
Khusus Rayon Utama Makmur, perusahaan ini turut dikendalikan oleh keluarga konglomerat Lukminto, yang juga menjadi pemilik Sritex. Produsen serat dan rayon ini diisukan tutup pada 2023 lalu karena kesulitan memperoleh bahan baku.
Baca Juga: Sritex Pailit, Sinyal Tumbangnya Industri Tekstil Indonesia
"Anggota kami yang masih beroperasi menjalani aktivitasnya dengan rata-rata utilisasi 40%," kata Redma, Selasa (29/10).
Dia menambahkan, masih ada lebih dari 50 perusahaan di industri TPT yang terancam gulung tikar jika industri ini tak kunjung membaik. Artinya, ada sekitar 300.000 karyawan yang juga terancam terkena PHK jika perusahaan-perusahaan tersebut berhenti beroperasi.
Dalam catatan KONTAN, Kementerian Tenaga Kerja menyebut jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sudah mencapai 59.764 orang hingga 24 Oktober 2024 yang mana sebagian besar berasal dari industri TPT. Angka real PHK di industri TPT kemungkinan lebih besar mengingat tidak semua perusahaan melaporkan peristiwa PHK kepada pemerintah.
Fokus kendalikan impor
APSyFI juga menyoroti wacana yang dikemukakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupa pemberian dana talangan atau bailout untuk menyelamatkan Sritex dari kebangkrutan. Menurut Redma, bailout memang bisa menjadi opsi agar Sritex tetap beroperasi normal. Namun, perlu diingat bahwa Sritex masih dalam proses pengajuan kasasi, sehingga manajemen perusahaan tersebut merasa masih bisa pulih dan menunaikan kewajibannya.
"Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan nasib para penyuplai bahan baku bagi Sritex yang juga punya masalah arus kas," terang dia.
Lagi pula, opsi bailout hanya bersifat jangka pendek dan belum tentu bisa diterapkan pada tiap produsen TPT yang terancam tutup. APSyFI kembali mengingatkan pemerintah agar memperhatikan biang kerok utama yang membuat industri TPT nasional hancur, yakni maraknya peredaran produk-produk impor di Tanah Air baik di pasar ritel maupun e-commerce.
"Hal yang lebih penting adalah mengamankan pasar domestik dari serbuan barang impor TPT, terutama yang ilegal, karena ini sudah menjadi masalah utama," jelas Redma.
Lantas, APSyFI mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) penyelamatan industri TPT yang langsung di bawah naungan Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, pemerintah pernah membuat Satgas Anti Impor Ilegal yang melibatkan 11 kementerian dan lembaga. Namun, keberadaan satgas yang di bawah kementerian dirasa belum efektif dalam memberantas praktik importasi TPT ilegal. Apalagi, tak sedikit oknum pejabat yang diklaim melindungi para importir produk TPT ilegal.
Dalam berita sebelumnya, Kemenperin mengusulkan untuk segera dilakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 yang membuat impor TPT makin merajalela di pasar domestik. Ini mengingat beleid tersebut meniadakan kewajiban penerbitan pertimbangan teknis (pertek) sebelum importir memperoleh persetujuan impor.
Bahkan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membuka peluang untuk mengembalikan kebijakan impor ke Permendag 36/2023 jika ingin mempercepat pembenahan tata kelola impor.
Baca Juga: Pemerintah Komitmen Jaga Kelangsungan Industri Tekstil Dalam Negeri
Selanjutnya: Pasar Otomotif Lesu, Pemain Mobil Mewah Tetap Gencar Berjualan
Menarik Dibaca: Apakah Katarak Kucing Bisa Sembuh? Simak Penjelasan dan Pengobatannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News