kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Rafinasi Ancam Gula BUMN


Rabu, 24 Maret 2010 / 10:32 WIB
Rafinasi Ancam Gula BUMN


Sumber: Kontan | Editor: Test Test

JAKARTA. Musim giling tebu baru akan dimulai beberapa bulan lagi. Ironisnya, kendati pasokan gula belum bertambah, sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi importir gula putih sulit menjual barang mereka ke pasar.

Perusahaan Umum (Perum) Bulog adalah salah satunya. Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Ali Moeso mengaku kesulitan menjual gula yang sudah mereka impor. Sebagai gambaran, dari kuota impor 50.000 ton gula putih yang diberikan pemerintah, Bulog sudah mendatangkan 47.500 ton gula. Seluruh gula itu sudah datang sejak Januari lalu.

Ternyata, rembesan gula rafinasi menjadi biang keladi persoalan ini. Sutarto bilang, gula yang semestinya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman tersebut masuk ke pasar dan dikonsumsi masyarakat. Akibatnya, harga jual gula impor milik Bulog di dalam negeri terus tertekan.

Kini, gula Bulog hanya dihargai Rp 9.300 per kilogram (kg). Padahal, semestinya berada di kisaran Rp 9.500-Rp 10.000 per kg. "Gula rafinasi banyak masuk sehingga Bulog sulit menjual," cetus Sutarto, Senin (22/3). Sayang, belum ada angka pasti jumlah rafinasi yang merembes ke pasar.

Mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu tak mau melihat harga gula Bulog turun tak terkendali. Makanya, Bulog akan mematok harga jual gulanya paling rendah Rp 9.000 per kilogram. Angka ini muncul lantaran Bulog mendapatkan gula impor tersebut seharga US$ 749 per ton. Ini belum termasuk biaya distribusi gula dari gudang Bulog hingga ke konsumen.

Melihat gelagat ini, Sutarto mendesak agar Kementerian Perdagangan menertibkan gula rafinasi. Sebab, rembesan gula rafinasi bisa menganggu distribusi gula kristal putih yang sudah mereka impor. Padahal, jika itu terjadi, Bulog bisa merugi.

Gempuran gula rafinasi ke pasar memang layak membuat Bulog kalang kabut. Sebab, penjualan gula perusahaan ini selalu mengikuti harga pasar. Artinya, jika harga pasar naik harga jual gula Bulog juga terkerek. Sebaliknya, jika harga pasar turun, harga jual gula Bulog juga terseret. Masalahnya, kalau Bulog tak bersedia menurunkan harga, kemungkinan besar, gula mereka tidak akan laku.

Kekhawatiran akan rembesan gula rafinasi ternyata tak cuma dirasakan Bulog. Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti), Natsir Mansyur juga mengatakan, gempuran gula rafinasi membuat gula milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Sebab, di mata pedagang, harga gula milik BUMN terlalu mahal ketimbang gula rafinasi.

Natsir mengungkapkan, berdasarkan laporan anggotanya di daerah, gula rafinasi hanya dijual Rp 9.100 per kg. Sedangkan gula-gula milik BUMN dijual seharga Rp 9.300. "Sekarang importir gula kelabakan mencari pasar. Sementara harga dunia sudah turun. Kalau pedagang tentu ingin mencari gula yang murah," ungkap Natsir.

Sekedar mengingatkan, untuk mengantisipasi kekurangan gula kristal putih pada akhir Februari hingga Mei 2010, pemerintah sepakat melakukan impor gula sebanyak 500.000 ton. Impor ini akan dilakukan mulai 1 Januari sampai 15 April 2010.

Menteri Perdagangan lantas menugaskan sejumlah BUMN menggelar impor. Mereka adalah PTPN IX (81.000 ton), PTPN X (94.500 ton), PTPN XI (103.500 ton), RNI (85.500 ton), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (85.500 ton), dan Bulog (50.000 ton).

Celakanya, harga gula internasional terus merosot. Kemarin (23/3), harga gula putih di London International Financial Futures And Options Exchange (LIFFE) sudah menyentuh level terendah dalam tujuh bulan terakhir yakni US$ 496,4 per ton. Padahal, pada 25 Januari 2010, harga gula dunia sempat mencetak rekor tertinggi sebesar US$ 752,5 per ton.

Sekretaris Perusahaan PTPN XI, Adig Suwandi juga mendesak agar gula rafinasi hanya diperuntukkan buat industri. Ia pun meminta pemilik gula rafinasi menghormati ketentuan itu agar tidak merusak gula milik BUMN. "Kalau harga gula rafinasi lebih murah dari gula impor, BUMN dipastikan rugi," tukas Adig.

Kerugian terparah yang akan diderita BUMN adalah saat gula impor belum terserap sepenuhnya namun musim giling sudah tiba. Sebab, kondisi ini akan membuat harga gula jatuh. Apalagi, harga gula dunia anjlok.

Berbeda dengan Adig, Sekjen Dewan Gula Indonesia Achmad Mangga Barani justru mengaku tidak khawatir dengan harga gula yang jatuh atau penumpukan stok gula. Alasannya, pemerintah sudah menghitung masak-masak persoalan itu. "Pemerintah sudah menghitung produksi dan kebutuhan sehingga tidak ada penumpukan," ungkap Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian ini.

Memang, saat ini, gula impor sudah mulai banyak berdatangan. Cuma, musim giling juga hampir pasti bakal mundur. Semestinya, musim giling gula terjadi pada Mei. Namun, ada sejumlah pabrik yang baru memulainya Juni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×