kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45887,73   13,33   1.52%
  • EMAS1.365.000 0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ribut di Puncak Menara XL


Kamis, 25 September 2008 / 15:38 WIB
ILUSTRASI. TAJUK - R Cipta Wahyana


Reporter: Nurul Kolbi | Editor: Test Test

Sang kontraktor menara ini berdomisili di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Robinson sudah membangun 2 menara BTS milik XL di Desa Nagahuta, Simalungun dan di Desa Pahang, Asahan Sumatera Utara.

Pekerjaan pembangunan dua menara ini berlangsung sepanjang Maret – Mei 2007. Berdasarkan kontrak kerja, kata Robinson, ia seharusnya menerima pembayaran sebesar 95 persen dari total invoice setelah 90 hari kerja.

“Pekerjaan menara itu selesai dalam 45 hari. Nah di hari ke 90, harusnya kita sudah mendapat pembayaran,” katanya. Tapi, apa lacur, setahun berselang hak itu belum juga ditunaikan. Tagihan yang macet ini nilainya mencapai Rp 520 juta. "Sejauh ini, kami baru menerima 8 persen dari nilai kontrak. Itu pun dicicil," tambahnya.

Asal mula kisruh

Robinson memang tidak bekerja langsung dengan XL. Ia hanya sub kontraktor dari PT. Boer Property Indonesia (BPI), main contractor XL. Robinson mendapat order pembangunan 2 menara dari BPI. Keduanya menandatangani perjanjian kerjasama pada 29 November 2006. Robinson mulai mengerjakan pembangunan menara pada Maret 2007.

BPI sebenarnya perusahaan konstruksi dengan Sweeta Melanie sebagai direktur. Perusahaan yang berkantor di Mayapada Tower Lantai 9 ini adalah spesialis pembangun menara BTS. Kliennya tak hanya XL, tapi ada juga operator-operator telekomunikasi lain.

Dalam bisnis menara, mensubkontrakkan pekerjaan adalah hal lumrah. Menurut Ngurah Wirjawan, pengusaha menara BTS yang kini beralih ke bisnis jalan tol, biasanya ada 5 jenis pekerjaan yang diurus main contractor. Mulai dari mengurus lahan, perizinan, aliran listrik, hingga pembangunan menara. “Yang sering di-outsource ke pihak ketiga adalah pengadaan listrik dan menara. Sub kontraktor mereka ada di mana-mana,” kata Ngurah. 

Di BPI, Robinson menjalin kontak dengan Chusnul Chuluk Manager Marketing dan Benny Project Manager Site Area Sumatera. Sebelum memulai pekerjaan, Robinson menyetor Rp 250 juta sebagai deposit kepada BPI. Pekerjaan Robinson adalah menyediakan jasa dan material untuk keperluan mekanikal elektrikal, tower, dan connecting menara BTS.

Berbekal purchase order tertanggal 1 dan 2 Maret 2007, Robinson membangun menara pertama setinggi 72 meter di bangun di Desa Naghuta dan menara kedua setinggi 45 meter di Desa Pahang.

Masalah mulai muncul ketika BPI melakukan wanprestasi. Menurut Robinson, sejak pekerjaan itu kelar pada Bulan Mei 2007, PT. Boer tidak melaksanakan kewajibannya. Sampai XL berencana menjual menara, belum ada tanda-tanda akan ada penyelesaian pembayaran.

Menara di sabotase, XL menjadi fasilitator

Robinson pun meradang. Apalagi, setelah ia mendapat informasi BPI telah melakukan serah-terima menara ke pihak XL. BTS site Pahang diserahkan pada Mei 2007 dan Nagahuta sebulan sesudahnya. Menurut sumber Kontan di bisnis menara, dalam serah terima barang, operator hanya akan membayar jika semua persoalan dianggap selesai. Jadi, ada semacam pernyataan tertulis dari main contractor kalau barang yang mereka serahkan itu tidak menimbulkan tuntutan di kemudian hari.

XL mengaku sudah melunasi semua kewajibannya. Sutrisman Head of Corporate Legal XL, mengatakan pembayaran terakhir ke BPI dilakukan pada 13 Desember 2007. Ketika menerima barang dari BPI, Sutrisman tidak pernah tahu tentang persoalan yang memercik di lapangan. “Secara kontrak, kami hanya berhubungan dengan kontraktor utama. Kami tidak ada urusan dengan sub kontraktor,” katanya.

Dalam perjanjian antara XL dan BPI, kata Sutrisman, sebenarnya main contractor dilarang mensubkontrakkan pekerjaan ke pihak ketiga. “Secara legal itu melanggar. Apalagi, di kemudian hari konflik antara kontraktor utama dan para sub kontraktornya ikut menyeret-nyeret XL” katanya. Sutrisman mengaku baru mengetahui persoalan ini setelah Robinson mengadu ke XL, pertengahan 2007.

Cerita Robinson, surat pengaduan ke XL dikirim setelah ia beberapa kali gagal menagih langsung ke BPI. Robinson dan beberapa kontraktor lain juga pernah datang ke Mayapada lantai 9. Tapi, setelah 2 pekan di Jakarta, mereka balik ke Pematang Siantar dengan tangan hampa.

XL pun tak lepas tangan. Beberapa kali upaya mediasi di lakukan. Mulai dari menggelar pertemuan di Jakarta, dan kantor perwakilan XL di Sumatera Utara. Tapi semua upayaitu terus menemui jalan buntu. “BPI selalu saja ada alasan untuk tidak memenuhi undangan pertemuan,” kata Robinson.

Merasa frustrasi, Robinson mengambil jalan pintas. Bersama kontraktor lainnya, ia menguasai 2 menara BTS. “Yang kami lakukan mematikan akses listrik, menggembok, dan melarang siapa pun masuk ke site tersebut,” kata Robinson. Dengan melakukan sabotase menara, Robinson berpikir XL pasti akan mendesak BPI lebih keras lagi.  

Strategi itu membuahkan rapat di kantor pusat XL di Jakarta. Pesertanya manajemen BPI dan staf legal XL. “Mereka melakukan teleconference dengan saya. Di hadapan perwakilan XL, BPI berjanji akan melunasi paling lambat awal Desember 2007,” kata Robinson. Hingga lewat tenggat waktu, janji itu ternyata diingkari lagi.

Saling mengadu ke polisi

Karena belum dibayar, Robinson terus melakukan pendudukan. Pada Februari 2008, sekelompok orang mengambil alih menara itu dan mengoperasikannya kembali. Tak terima, Robinson memperkarakan kasus tersebut ke Polres Simalungun. “Akses listrik, ya kita putus lagi,” kata Robinson.

Pada pemutusan yang kedua ini, giliran XL yang meradang. Pada 21 Maret 2008, diwakili Sabirin dari XL Sumatera Utara, XL mengadukan Robinson Cs ke Polres Simalungun. Pertemuan segitiga antara XL, BPI, dan Robinson digagas ulang. Mereka menyepakati tiga hal; BPI berjanji segera menyelesaikan pembayaran, Robinson membuka akses ke menara, dan XL mencabut laporannya di Polres.

Tapi, hingga September 2008, janji itu tetap tak pernah ditepati Sayang hingga berita ini diturunkan, Kontan belum berhasil mengorek keterangan dari BPI. Kantor BPI di Mayapada sudah Kontan datangi, Selasa (23/9). Menurut Narso, salah seorang staf Direktur BPI Sweeta Melani sedang di luar kota sejak beberapa hari lalu. Sweeta juga tak mengangkat telepon atau menjawab konfirmasi yang Kontan kirimkan lewat pesan singkat (SMS).

Tentang peran BPI, menurut Corporate Legal XL, memang telah terjadi wanprestasi pada pengerjaan menara BTS milik XL di Sumatera Utara. Sebagai pemesan menara, XL mengaku sudah melunasi kewajiban kepada BPI sejak Desember 2007. Mengenai kasus antara BPI dan para sub kontraktornya, kata Sutrisman, XL hanya bisa bertindak sebagai fasilitator. “Dari sisi legal, kami hanya berhubungan dengan main contractor, dalam hal ini BPI. Masalah yang ditimbulkan BPI, bukan menjadi urusan kami,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×