Reporter: Nurul Kolbi | Editor: Test Test
Sang kontraktor menara ini berdomisili di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Robinson sudah membangun 2 menara BTS milik XL di Desa Nagahuta, Simalungun dan di Desa Pahang, Asahan Sumatera Utara.
“Pekerjaan menara itu selesai dalam 45 hari. Nah di hari ke 90, harusnya kita sudah mendapat pembayaran,” katanya. Tapi, apa lacur, setahun berselang hak itu belum juga ditunaikan. Tagihan yang macet ini nilainya mencapai Rp 520 juta. "Sejauh ini, kami baru menerima 8 persen dari nilai kontrak. Itu pun dicicil," tambahnya.
Robinson memang tidak bekerja langsung dengan XL. Ia hanya sub kontraktor dari PT. Boer Property Indonesia (BPI), main contractor XL. Robinson mendapat order pembangunan 2 menara dari BPI. Keduanya menandatangani perjanjian kerjasama pada 29 November 2006. Robinson mulai mengerjakan pembangunan menara pada Maret 2007.
BPI sebenarnya perusahaan konstruksi dengan Sweeta Melanie sebagai direktur. Perusahaan yang berkantor di Mayapada Tower Lantai 9 ini adalah spesialis pembangun menara BTS. Kliennya tak hanya XL, tapi ada juga operator-operator telekomunikasi lain.
Dalam bisnis menara, mensubkontrakkan pekerjaan adalah hal lumrah. Menurut Ngurah Wirjawan, pengusaha menara BTS yang kini beralih ke bisnis jalan tol, biasanya ada 5 jenis pekerjaan yang diurus main contractor. Mulai dari mengurus lahan, perizinan, aliran listrik, hingga pembangunan menara. “Yang sering di-outsource ke pihak ketiga adalah pengadaan listrik dan menara. Sub kontraktor mereka ada di mana-mana,” kata Ngurah.
Berbekal purchase order tertanggal 1 dan 2 Maret 2007, Robinson membangun menara pertama setinggi 72 meter di bangun di Desa Naghuta dan menara kedua setinggi 45 meter di Desa Pahang.
Masalah mulai muncul ketika BPI melakukan wanprestasi. Menurut Robinson, sejak pekerjaan itu kelar pada Bulan Mei 2007, PT. Boer tidak melaksanakan kewajibannya. Sampai XL berencana menjual menara, belum ada tanda-tanda akan ada penyelesaian pembayaran.
Robinson pun meradang. Apalagi, setelah ia mendapat informasi BPI telah melakukan serah-terima menara ke pihak XL. BTS site Pahang diserahkan pada Mei 2007 dan Nagahuta sebulan sesudahnya. Menurut sumber Kontan di bisnis menara, dalam serah terima barang, operator hanya akan membayar jika semua persoalan dianggap selesai. Jadi, ada semacam pernyataan tertulis dari main contractor kalau barang yang mereka serahkan itu tidak menimbulkan tuntutan di kemudian hari.
Dalam perjanjian antara XL dan BPI, kata Sutrisman, sebenarnya main contractor dilarang mensubkontrakkan pekerjaan ke pihak ketiga. “Secara legal itu melanggar. Apalagi, di kemudian hari konflik antara kontraktor utama dan para sub kontraktornya ikut menyeret-nyeret XL” katanya. Sutrisman mengaku baru mengetahui persoalan ini setelah Robinson mengadu ke XL, pertengahan 2007.
XL pun tak lepas tangan. Beberapa kali upaya mediasi di lakukan. Mulai dari menggelar pertemuan di Jakarta, dan kantor perwakilan XL di Sumatera Utara. Tapi semua upayaitu terus menemui jalan buntu. “BPI selalu saja ada alasan untuk tidak memenuhi undangan pertemuan,” kata Robinson.
Strategi itu membuahkan rapat di kantor pusat XL di Jakarta. Pesertanya manajemen BPI dan staf legal XL. “Mereka melakukan teleconference dengan saya. Di hadapan perwakilan XL, BPI berjanji akan melunasi paling lambat awal Desember 2007,” kata Robinson. Hingga lewat tenggat waktu, janji itu ternyata diingkari lagi.
Saling mengadu ke polisi
Pada pemutusan yang kedua ini, giliran XL yang meradang. Pada 21 Maret 2008, diwakili Sabirin dari XL Sumatera Utara, XL mengadukan Robinson Cs ke Polres Simalungun. Pertemuan segitiga antara XL, BPI, dan Robinson digagas ulang. Mereka menyepakati tiga hal; BPI berjanji segera menyelesaikan pembayaran, Robinson membuka akses ke menara, dan XL mencabut laporannya di Polres.
Tentang peran BPI, menurut Corporate Legal XL, memang telah terjadi wanprestasi pada pengerjaan menara BTS milik XL di Sumatera Utara. Sebagai pemesan menara, XL mengaku sudah melunasi kewajiban kepada BPI sejak Desember 2007. Mengenai kasus antara BPI dan para sub kontraktornya, kata Sutrisman, XL hanya bisa bertindak sebagai fasilitator. “Dari sisi legal, kami hanya berhubungan dengan main contractor, dalam hal ini BPI. Masalah yang ditimbulkan BPI, bukan menjadi urusan kami,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News