Reporter: Gloria Haraito | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kebijakan sejumlah pemerintah daerah membatasi ruang beriklan untuk rokok tentu membuat produsen rokok harus pintar-pintar mengatur strategi dalam mempromosikan produknya. "Pelarangan beriklan tentu berpengaruh tapi hal ini tidak menjadi halangan bagi kami dalam berpromosi," ujar Hiendro Utomo, Manajer Hubungan Strategis Djarum kepada KONTAN, Rabu (15/6).
Hiendro mengatakan, anggaran reklame dari Djarum di setiap daerah tetap sama. Hanya saja, anggaran yang tadinya dialokasikan untuk papan reklame, kini dialihkan ke media lainnya. "Kami masih beriklan di TV dan media cetak; yang paling besar kan TV," lanjutnya.
Seperti kita ketahui, Peraturan Pemerintah No. 19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan menyerahkan wewenang penetapan kawasan tanpa rokok (KTR) kepada masing-masing pemerintah daerah (pemda). Walhasil, banyak daerah yang melakukan aturan sendiri-sendiri mengenai KTR.
Pemda Bogor, misalnya, sudah melarang rokok beriklan di media luar ruang sejak awal tahun 2011. Hal ini diikuti oleh Pemda Padang Panjang, dan sebagian wilayah Bukittinggi serta Palembang.
Roland Halim, Manajer Merek Djarum Super, menambahkan, pembatasan papan reklame membuat perusahaan nya giat menggelar acara off air. Kegiatan tersebut, antara lain mensponsori acara festival musik, konser musik, atau turnamen olahraga.
Sementara itu menurut Yos Adiguna Ginting, Direktur Hubungan Perusahaan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HM Sampoerna), aturan KTR yang berbeda-beda di setiap daerah membikin bingung produsen rokok. Karenanya, ia berharap pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai hal ini yang berlaku secara nasional.
Selain itu, Yos mengusulkan agar ketentuan luas papan reklame yang terdapat dalam RPP berlaku bertahap. "Di RPP disebutkan papan reklame maksimal 16 meter persegi (m²), sekarang kan tidak ada batasnya, kami berharap pembatasan ini berlaku bertahap," tutur Yos.
Billboard rokok turun
Walaupun anggaran iklan rokok tidak turun, porsi iklan rokok di papan reklame menurun gara-gara daerah-daerah memberlakukan KTR. Hal ini bisa terlihat dari pajak papan reklame rokok yang merosot dalam dua tahun terakhir.
Di Bogor, misalnya, pajak rokok papan reklame sepanjang tahun lalu hanya mencapai Rp 138,9 juta per bulan. Nilai ini merosot 40,9% dari Rp 235,2 juta per bulan pada 2009. Tetapi pemasukan pajak non-rokok melesat 30% dari Rp 453,1 juta per bulan menjadi Rp 589,7 juta per bulan.
Di Pontianak, tahun 2010, pendapatan iklan rokok papan reklame Rp 127,8 juta per bulan, turun 5,3% dari tahun 2009 yang sebesar Rp 135 juta per bulan. Kemudian di Semarang, tahun 2010, pendapatan iklan rokok papan reklame Rp 156,3 juta per bulan, turun 0,8% dari Rp 157,6 juta per bulan di tahun 2009.
Memang penurunan iklan billboard rokok ini tidak terjadi setiap daerah. Contohnya di Surabaya, pendapatan iklan billboard rokok justru naik, mencapai Rp 33 miliar pada tahun 2010 kemarin, naik dibanding Rp 25,4 miliar di tahun sebelumnya.
"Pajak papan reklame rokok ini memberikan kontribusi 1,01% terhadap pendapatan asli daerah (PAD)," ujar Alex Papilaya, Direktur Tobacco Control Support Centre.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News