Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Inisiatif DPR menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan untuk mengatur dan mengontrol tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia menuai respon beragam. Pengusaha dan petani kelapa sawit menyambut baik, namun aktivis lingkungan hidup menolak RUU ini lantaran dianggap melegalkan pengrusakan hutan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, RUU Perkelapasawitan ini baru masuk pembahasan tahap awal. DPR memunculkan RUU Perkelapasawitan lantaran industri ini cukup strategis. "RUU ini menjadi penting karena kelapa sawit memberikan kontribusi bagi negara cukup signifikan, tapi belum ada aturan hukum yang jelas soal pengelolaan sawit seperti di Malaysia," ujarnya.
Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Iskandar Andi Nuhung mengusulkan beberapa hal. Pertama, pemberian izin khusus bagi petani kelapa sawit untuk memiliki luas lahan di atas 25 hektare (ha) sampai 100 ha. Dalam UU Pertanahan, setiap lahan di atas 25 ha harus mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU). Artinya setelah izin itu habis, tanah ini kembali ke negara.
"Ada banyak keluarga yang memiliki warisan lahan sampai 100 ha dan sudah terlanjur menanam kelapa sawit," ujarnya pada KONTAN, Selasa (25/10).
Kedua, DPR perlu mengubah klausul yang menyamakan semua petani harus mengurus izin usaha. Sebab, ada banyak petani kecil yang dirugikan akibat kebijakan ini karena kesulitan mengurus perizinan.
Karena itu, DMSI menyarankan agar perizinan perkebunan sawit skala 5 ha ke bawah cukup pakai rekomendasi di tingkat kecamatan. "Kalau harus izin ke pusat sangat merepotkan dan menelan biaya besar," ujarnya.
Ketiga, DMSI juga mengusulkan agar dimasukkan aspek pembiayaan dari APBN untuk peremajaan sawit di tingkat petani. Selama ini, petani tidak memiliki cukup dana untuk meremajakan tanaman.
Keempat, perlu kebijakan yang melegalkan industri membangun pabrik pengolahan kelapa sawit di tengah perkebunan rakyat dengan syarat harus mendapat pesetujuan 75% dari petani setempat. Lewat wadah koperasi, petani sawit juga dapat mendirikan industri pengolahan dengan persetujuan 75% petani setempat. "Syarat ini penting agar ada jaminan pasokan bahan baku," imbuhnya.
Hanya saja, Firman bilang, DPR belum bisa mengakomodir usulan agar ada izin khusus bagi petani sawit untuk memiliki luas lahan di atas 25 ha sampai 100 ha. Sebab DPR butuh referensi jelas sebelum memasukkan usulan tersebut dalam RUU. "DPR ingin agar pengelolaan kelapa sawit di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat," ujarnya.
Belum terlalu mendesak
Di sisi lain, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengganggap UU Perkelapasawitan belum mendesak. Pemerintah dan DPR perlu meluruskan dulu posisi usaha kelapa sawit dalam konteks UUD 1945, khususnya pasal 33. "Menurut saya, ada kekeliruan yang menempatkan sawit menjadi salah satu sumber pendapatan dan kehidupan ekonomi Indonesia yang paling utama," ujarnya.
Untuk itu Henry menyarankan pemerintah memprioritaskan kebutuhan pokok nasional dengan mengutamakan pengembangan pertanian ketimbang kelapa sawit. Jangan sampai pembentukan Badan Perkelapasawitan justru memperluas lahan hutan di Indonesia yang rusak.
Henry menyarankan agarĀ perkebunan kelapa sawit diserahkan ke petani sawit. Proses pengolahan atau sektor hilir diserahkan ke swasta. "Selama ini, pengelolaan sawit belum bisa dijadikan bahan siap jadi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News