Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Melihat cadangan energi fosil yang semakin lama semakin menipis, sudah saatnya pemerintah beralih fokus ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Dulu saat cadangan energi fosil masih melimpah, EBT ini hanya sekedar energi alternatif.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, hingga saat ini, pemanfaatan energi fosil masih besar yaitu 94%. Sementara EBT baru 6%. Persentase ini menunjukkan bahwa EBT belum menjadi prioritas untuk dimanfaatkan, khusunya di bidang kelistrikan.
Menurut Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Maritje Hutapea, Indonesia memiliki 23 sistem kelistrikan di mana tujuh sistem normal, sembilan sistem teridentifikasi kritis dan tujuh sistem mengalami defisit.
"Sistem kelistrikan yang kritis dan defisit tersebut yang paling sering kena pemadaman. Termasuk Indonesia bagian timur," ujar Maritje saat workshop energi terbarukan di Sentul, Jawa Barat pada Rabu (23/12).
Menurutnya, masalah ini perlu diatur dan diselesaikan melalui kebijakan. Salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Ketahanan Energi Nasional. Kebijakan harus bisa memfokuskan kepada pemanfaatan EBT.
Salah satu isinya adalah pengguna energi harus memanfaatkan energi sesuai kebutuhan, serta melakukan diversifikasi energi yaitu dengan EBT.
"Dengan melakukan pemanfaatan EBT, maka diharapkan kita tidak akan tergantung dengan energi fosil lagi," kata Maritje.
Dalam PP N. 79 Tahun 2014 tersebut juga dijelaskan bahwa target tahun 2025 ebt bisa menyuplai pasokan energi sebesar 23%, sementara minyak maksimal 25%, batubara 30% dan gas 22%.
"Selama 10 tahun ke depan ini Indonesia membutuhkan energi sekitar 400 juta ton oil equivalent, dan EBT menyumbang 92 juta ton di dalamnya," lanjutnya.
Asal tahu energi baru dan terbarukan ini sangat beragam yaitu panas bumi, tenaga surya air, angin, tenaga air laut, bioenergi, dsb.
Tahun 2025, EBT diharapkan bisa menyumbang 25% untuk menyukseskan program pemerintah 35.000 mw sebesar 8.750 mw yang berasal dari panas bumi, tenaga air, dan bioenergi seperti sampah, biomassa, dan limbah cair.
Untuk membangun pembangkit berbasis EBT dibutuhkan dana investasi sebesar Rp. 400 triliun yang tidak mungkin dibiayai hanya dari pemerintah dan PLN. "Harus ada investor swasta atau asing," kata Maritje.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News