CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.341.000   -7.000   -0,30%
  • USD/IDR 16.725   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.414   -5,56   -0,07%
  • KOMPAS100 1.163   -1,38   -0,12%
  • LQ45 846   -2,34   -0,28%
  • ISSI 294   -0,29   -0,10%
  • IDX30 440   -1,80   -0,41%
  • IDXHIDIV20 510   -4,13   -0,80%
  • IDX80 131   -0,28   -0,21%
  • IDXV30 135   -0,09   -0,06%
  • IDXQ30 141   -1,39   -0,98%

Secarik iklan pengubah jalan Kartika


Senin, 02 November 2015 / 11:48 WIB
Secarik iklan pengubah jalan Kartika


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Masa depan seseorang terkadang memang tak sejalan dengan cita-citanya di masa kecil. Kondisi ini pula yang dialami Kartika Wirjoatmodjo. Kariernya sebagai bankir tak pernah diimpikan sebelumnya oleh pria yang akrab disapa Tiko tersebut.

Toh, perjalanan hidup yang akhirnya membawa Tiko, panggilan akrab Kartika,  merintis karier di industri keuangan. Pada Maret 2015, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bank Mandiri Tbk menunjuk Tiko sebagai Direktur Keuangan bank plat merah tersebut.

Nama Tiko memang tidak asing lagi di dunia perbankan. Sebelum menjabat direktur Bank Mandiri, dia adalah Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kartika duduk di kursi orang nomor satu LPS sejak 2013. Pengangkatan tersebut berdasar Keputusan Presiden  No 150/M Tahun 2013.

Sebelum menjabat Kepala Eksekutif LPS, Tiko menjabat sebagai Direktur Utama PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). IIF merupakan perusahaan joint venture antara Kementerian Keuangan, Bank Dunia, dan The Asian Development Bank yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur.

Pekan lalu, Tiko mengisahkan perjalanan karier profesionalnya kepada KONTAN.

Kartika lahir dan dibesarkan di lingkungan dokter.  Ayah dan ibunya berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Surabaya. Tapi, kata Kartika, penghasilan kedua orangtuanya dari profesi dokter tak berlebihan. Sebab, kata dia, kedua orangtuanya lebih banyak memberikan layanan sosial ketimbang tujuan komersial.

Jiwa sosial kedua orangtuanya yang membentuk Tiko hidup sederhana dan suka membantu orang lain. Tiko belajar bagaimana mengutamakan integritas di atas segalanya dengan tetap hidup sederhana, membuka diri dan menjaga interaksi dengan lingkungan sekitar.

Tiko berkisah, selepas lulus dari salah satu sekolah menengah atas (SMA) negeri di Surabaya, pada 1991, ia berniat melanjutkan kuliah di bidang teknik. Apalagi, ketika di bangku SMA, Tiko mengambil jurusan IPA. Dengan mengambil kuliah di bidang teknik, ia berharap kelak bisa menjadi orang yang ahli di salah satu bidang tersebut.

Sayang, niat Tiko kuliah di bidang teknik tak kesampaian. Persoalannya sepele. Saat akan mendaftar kuliah ke perguruan tinggi, ia melihat iklan di sebuah majalah ekonomi yang mempromosikan pendaftaran kuliah di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI).

Halaman iklan itu memampangkan sejumlah lulusan FE UI yang sukses menjadi menteri dan gubernur Bank Indonesia (BI). Sontak, iklan tersebut mengubah 180 derajat niat Tiko untuk kuliah di bidang teknik. Ia terilhami oleh iklan itu untuk kuliah di jurusan ekonomi.

Dari situ, karier di keuangan seolah sudah menjadi garis tangan Tiko. Pada 1991, ia mendaftar dan diterima kuliah di FE UI, yang saat itu masih berlokasi di Salemba, Jakarta Pusat. Setahun kemudian, kampus UI pindah ke Depok, Jawa Barat.

Sebagai mahasiswa perantau, pria kelahiran Surabaya 18 Juli 1973 ini mengaku kagum melihat kemegahan kampus UI kala itu. Apalagi, ketika itu, staf pengajar di FE UI masih banyak dari kalangan pejabat aktif pemerintah, seperti menteri, CEO BUMN, dan direktur perusahaan swasta.

Tiko masih ingat betul, ketika masih jadi mahasiswa, orang-orang yang memiliki pengaruh besar di Indonesia seperti Darmin Nasution, Sri Mulyani, Chatib Basri, Bambang Soemantri Brodjonegoro masih aktif mengajar mata kuliah di FE UI.

Dari situ pula, Tiko akhirnya benar-benar punya mimpi bisa berkontribusi sejajar dengan para dosennya untuk bekerja di pemerintahan atau BUMN. "Saya merasakan bagaimana FE UI membuka cakrawala baru untuk memandang dunia secara berbeda," katanya.

 Pengalamannya kuliah di bidang ekonomi menumbuhkan minat Tiko untuk bekerja di perusahaan multinasional. Sebab, menurutnya, untuk bisa bekerja di pemerintah atau perusahaan BUMN, ia harus memiliki skill yang mumpuni terlebih dahulu.

Karena itu, selepas kuliah, pada tahun 1995-1996, dia bekerja sebagai konsultan pajak di RSM AJJ. Kariernya di perusahaan konsultan pajak itu tak bertahan lama. Pada 1996, Tiko pindah kerja ke sebuah perusahaan asal Jepang yang bergerak di bidang industri. Di perusahaan ini, Kartika juga tak lama.

Hanya berselang dua tahun atau tepatnya pada 1998, ia pindah kerja lagi ke PricewaterhouseCoopers (PwC). PwC adalah kantor konsultan keuangan dan kantor audit terbesar di dunia saat ini. Di PwC, Tiko bekerja sampai tahun 1999, sebelum akhirnya menduduki posisi Konsultan Senior di The Boston Consulting Group pada tahun 2000.

Pengalamannya bekerja di berbagai sektor jasa keuangan dari periode 1997 hingga 2000, turut membentuk skill Kartika menjadi bankir profesional. Apalagi, pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis ekonomi dan moneter.

Besar di Bank Mandiri

Alhasil, Tiko dituntut untuk mampu menguasai berbagai macam tugasnya. Tugasnya di PwC yang awalnya sebagai analisis penyaluran kredit baru, berubah jadi analisis restrukturisasi kredit. "Ada beberapa perusahaan besar yang harus kita restrukturisasi," katanya, mengenang.

Dia menyatakan, pengalamannya menutup bank bertolak belakang dengan ilmu yang ia dapat ketika kuliah. Sebab, di masa kuliah, ia hanya mendapat materi ilmu analis dan konsultasi jasa keuangan, bukan menutup bank.

Karena itu, untuk mengembangkan wawasannya di bidang ekonomi, Kartika melanjutkan kuliah di Belanda, tahun 1999. Di negeri kincir angin, dia mengambil gelar Master of Business Administration di Erasmus University, Rotterdam.

Sebelum lulus dari situ, Kartika sudah mendapat pekerjaan di Boston Consulting yang menjadi awal pintu masuk ke perbankan setelah bekerja di lembaga ini. Di Boston Consulting, pria ini sempat menjadi konsultan Bank Mandiri selama 2,5 tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Bank Mandiri pada 2003.

Di bank pelat merah ini, Kartika  merintis karier dari bawah sebagai Kepala Departemen untuk proyek training. Ketika memegang jabatan itu, usia Tiko belum genap 30 tahun. Banyak anak buahnya yang berusia lebih tua dari Tiko. Toh, hal itu tak menghambat kariernya.

Karier Tiko melesat di Bank Mandiri, utamanya berkat kemampuan dan keluasan cara pandangnya terhadap masalah dunia perbankan. "Saya punya prinsip, yang penting bagaimana mengembangkan interpersonal skill untuk meyakinkan orang lain bisa bekerjasama dengan kita. Membangun kepercayaan itu tidak mudah," katanya.

Dia memang merasakan perbedaan bekerja di perusahaan multinasional dengan BUMN. Di perusahaan multinasional, dia harus fokus bekerja sesuai bidang. Namun, di BUMN, ada sejumlah faktor eksternal dan non teknis yang juga menjadi tanggungjawabnya.

Karena itu, Kartika mulai menyesuaikan ketika bekerja di Bank Mandiri. Beruntung, ia tergolong cepat beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Kariernya di Bank Mandiri semakin moncer.

Tahun 2005, pria 42 tahun ini diangkat menjadi Senior Vice President. Kala itu, usianya baru menginjak 32 tahun dan menjadi yang termuda di posisi tersebut. Padahal, di BUMN lain, posisi itu dijabat oleh bankir berusia 45 tahun-50 tahun. "Sekarang saya di Bank Mandiri termasuk paling senior, karena orang yang sepantaran dengan saya sudah pensiun," ungkapnya.

Dewi Fortuna terus mengikuti perkembangan karier Tiko di Bank Mandiri. Pada 2008, ia dipercaya membantu mengembangkan bisnis anak usaha Bank Mandiri, yakni PT Mandiri Sekuritas. Di perusahaan ini, ia menjabat sebagai Managing Director.

Tahun 2011, Menteri Keuangan waktu itu, Agus Martowardojo, menunjuknya  sebagai CEO PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). Kala itu, IIF tengah mengalami masalah kompleks. Setahun digagas tapi belum berjalan, bahkan nyaris bubar. "Pak Agus minta saya membuat IIF take off," ujarnya.

Dus, Tiko mulai membenahi IIF, melakukan negosiasi legal berhari-hari, hingga meyakinkan Bank Dunia, ADB dan sejumlah pihak lainnya. Di situlah, ia menyadari ternyata tidak mudah bernegosiasi soal utang negara. Namun, jerih payahnya tak sia-sia. Saat ini, sejumlah proyek IIF sudah berjalan. Salah satunya Tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,75 kilometer.

Sukses memecahkan persoalan IIF, Tiko ditunjuk pemerintah menjabat Kepala Eksekutif LPS. Ia mendapat tugas khusus dari Menteri Keuangan ketika itu, Chatib Basri, untuk membereskan penjualan Bank Mutiara. Tantangannya, bank yang dulunya bernama Bank Century tersebut sudah hampir memasuki usia lima tahun dalam penanganan pemerintah dan berdasarkan Undang-Undang harus dijual.

Sekali lagi, Tiko berhasil lolos dari tantangan. LPS berhasil menjual Bank Mutiara ke Bank J Trust Indonesia Tbk. Tidak lama kemudian, Tiko kembali ditarik ke Bank Mandiri dan saat ini menduduki posisi sebagai salah satu direktur.

Tiko mengatakan, kariernya sebagai bankir didasarkan pada usaha yang maksimal. Karena itu, ia selalu memegang prinsip bahwa setiap orang sukses selalu memposisikan kemampuannya di atas rata-rata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×