Reporter: Agustinus Beo Da Costa, Muhammad Yazid, Pratama Guitarra | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo di bidang energi selama lima tahun ke depan tidak bisa dianggap enteng. Persoalan energi mencakup mineral, batubara, listrik, serta minyak dan gas bumi sampai saat ini masih menjadi benang kusut yang sulit terurai oleh pemerintah.
Pekerjaan rumah yang mesti menjadi perhatian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yaitu ketersediaan infrastruktur adalah infrastruktur yang menunjang kegiatan pengusahaan pertambangan yakni akses jalan dan pelabuhan, serta ketersediaan listrik.
Program hilirisasi mineral lambat bahkan jalan di tempat. "Kalau insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance sudah biasa bagi investor, tapi kepastian sumber energi misalnya listrik dan gas itu belum dapat dipenuhi," kata Natsir Mansur, Direktur Utama PT Indosmelt ke KONTAN, Rabu (29/10).
Masalah lain, Kementerian ESDM selama ini dinilai belum memiliki sumber daya manusia yang mumpuni khusus di program nilai tambah mineral. Ini bisa dilihat dari pengurusan izin yang sangat panjang. Sekarang ini, terdapat 101 perizinan dan persetujuan yang harus dilalui pengusaha sebelum dapat menikmati hasil tambang.
Perinciannya, 56 perizinan dari Kementerian ESDM, 20 perizinan dari sektor lain, dan 26 izin dari pemerintah daerah. Memang saat ini ada rencana untuk memangkas sekitar 30 izin, sehingga bisa menyusut menjadi 71 jenis izin. Tapi, ini tak cukup, perizinan di daerah masih ruwet.
Alhasil, Pelaksana Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Budi Santoso menilai, program hilirisasi hasil tambang mineral seperti mati suri. Sebab selama ini mindset pemerintah masih menjadikan minerba sebagai sumber penerimaan negara, bukan pendorong perekonomian.
Bila program hilirisasi ini serius ditangani, maka manfaat sektor mineral bari perekonomian sangat besar. Indonesia Resources Studies (IRESS) pernah menghitung, investasi smelter antara 2014-2017 bisa mencapai Rp 300 triliun.
Permasalahan di sektor batubara tidak kalah pelik. Selama ini batubara hanya menjadi komoditas ekspor. Mestinya pembangunan pembangkit listrik dipercepat agar batubara bisa terpakai di dalam negeri. "Sekarang ini, pemerintah harus berani mengatur kuota produksi nasional, agar tidak terjadi over produksi setiap tahunnya," kata Waskito Tanuwijoyo, General Manager Exploration PT Bhakti Coal Resources.
Pabrik smelter yang kurang setrum, seharusnya bisa disuplai secepatnya dari pembangunan PLTU. Sayangnya, banyak kendala untuk pembangunan pembangkit mulai dari pembebasan lahan, izin pemda, serta pembelian listrik oleh PT PLN.
Produksi turun
Krisis listrik juga menjadi agenda penting yang harus diselesaikan pemerintahan Joko Widodo. Ambisi membangun pembangkit berdaya 25.000-30.000 Megawatt patut diacungi jempol. Namun, pilih kontraktor yang kredibel dan kompeten, agar tak mengulang kegagalan program 10.000 MW tahap I.
Disamping itu, pemerintah juga mesti meningkatkan elektrifikasi, yang 2014 ini, baru sekitar 80,5%. Masih ada sekitar 19,95% masyarakat Indonesia atau sekitar 50 juta jiwa yang rumahnya belum teraliri listrik.
Sementara, persolan di bidang migas juga tak kalah pelik. Namun, utamanya adalah soal penurunan produksi migas berdampak pada pendapatan negara. Presiden Direktur PT Medco E&P Indonesia, Lukman Mahfoedz menyatakan, industri migas perlu dipacu dengan keras supaya produksi migas kembali naik. Saat ini, produksi migas hanya 792.000 barel per hari (bph, dari target 818.000 bph.
Perlu terobosan untuk mengundang investor seperti menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk tahap eksplorasi migas. Selain itu adanya kepastian hukum agar kegiatan migas tidak diangap sebagai tindak kriminal.
Sementara, di sektor hilir kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Muhammad Husen, berharap program konversi BBM ke BBG mesti lebih masif. Bukan hanya membangun SPBG, tetapi mempercepat kewajiban memakai BBG transportasi. Selain itu pengembangan energi terbarukan. Pemerintah juga perlu mencari alternatif impor minyak mentah dari negara-negara baru seperti dari Angola dan ke depan dari Rusia.
Pemerintah perlu merevisi UU Migas agar mempertegas peranan SKK Migas, apakah, di bawah Kementerian ESDM atau menjadi badan tersendiri yang bertugas mengawasi 300 kontraktor migas. Pekerjaan ini mudah disebutkan tapi tak gampang untuk dikerjakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News