Reporter: Arief Ardiansyah, Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Sastrawan Inggris William Shakespeare sejak zaman dulu sudah berucap, “Apalah arti sebuah nama.” Tapi, bagi kalangan birokrat Tanah Air, nama memiliki arti penting, kalau perlu dijadikan bahan debat bertahun-tahun.
Realita ini terlihat dalam penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) Pengembangan Inkubator Kewirausahaan. Beleid turunan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini sudah dibahas sejak 2010. Para pembahasnya adalah Kementerian Pendidikan, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kemudian Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta Sekretariat Kabinet.
Kala itu, perpres ini bernama Perpres tentang Pengembangan Inkubator Bisnis Teknologi. Lantas, namanya berubah menjadi Perpres tentang Inkubator Bisnis pada 2011. Pada 2012, muncul perdebatan dalam perumusan aturan tentang pemakaian istilah “bisnis”. Kabarnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menolak istilah itu dan mengajukan penggantian kata “bisnis” dengan “kewirausahaan”. Mereka punya alasan: kata “kewirausahaan” bisa menjadi payung untuk semua inkubator.
Kementerian yang lain ngotot dengan pemakaian kata “bisnis”, dengan dalih sudah lazim secara global. Belum lagi, istilah kewirausahaan tidak ada dalam UU UMKM. Perdebatan ini menyebabkan pembahasan perpres yang cuma setebal 10 halaman dan memuat hanya 16 pasal ini terkatung-katung. Adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang paling kuat bertahan dan memaksa kementerian lain mengalah. “Ah, tidak ada debat seperti itu. Tidak usah ributkan nama supaya cakupan lebih fl eksibel,” kata Deputi Menteri Koordinator Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi. Saat ini, draf perpres sudah ada di Sekretariat Kabinet, tinggal menanti pengesahan presiden.
Kehadiran aturan ini penting bagi UMKM kita. Apalagi, pada 2015 nanti, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) resmi berlaku. Kala itu, pemisahan negaranegara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak berlaku. Tak hanya lalu lintas orang, arus barang, jasa, hingga uang bisa masuk dan keluar dengan bebas.
Secara umum, ada tiga pilar MEA, yaitu bidang keamanan politik (ASEAN Political-Security Community), sosial budaya (ASEAN Socio-Culture Community), dan ekonomi (ASEAN Economic Community). Semula, komunitas ASEAN ini baru akan berlaku tahun 2020 mendatang. Tapi, melihat perkembangan ekonomi dunia, para pemimpin ASEAN sepakat mempercepat ke 2015.
Masih banyak kendala
Menurut Hadi Karya Purwadaria, Project Coordinator Strengthening SME Business and Technology Business Incubators ASEAN, memang, bidang perbankan, usaha besar, hingga standar akuntansi terbaru, Indonesia telah siap menyambut MEA 2015. Tapi, “Di bidang UKM, kita belum siap,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Bandingkan dengan persiapan Thailand. Hadi menyebut, hingga 2016 nanti, Thailand akan memiliki 75.000 UMKM hasil binaan inkubator bisnis. Setiap UMKM mendapat dana sekitar US$ 32.000. Negeri Gajah Putih sadar, tak semua UMKM itu akan sukses, namun bila 5%-nya saja bisa berhasil, produk mereka bakal cukup membanjiri pasar ASEAN.
Edy juga mengakui bahwa saat pemberlakuan MEA nanti, UMKM kita masih berada dalam posisi tidak aman. Negara-negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, punya UMKM yang kuat. “Jangan sampai mereka yang berperan pasar di sini,” kata Edy.
Ina Primiana, Ketua Focus Group UMKM dan Koperasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, menjelaskan, potret UMKM Indonesia hingga kini masih belum berubah. Wawasan wirausaha masih rendah. Demikian pula dengan produktivitas serta daya saing UMKM masih rendah, baik dari sisi kual i tas produk, harga, maupun akses pasar.
Pandangan serupa menggayuti benak Antonius H. Wiharja, Marketing Manager PT Top Food Indonesia, pemilik jaringan restoran Es Teler 77. Dia juga melihat ketidaksiapan UMKM bersaing di MEA, dua tahun lagi. Sampai saat ini, masih banyak produk kita yang belum memiliki daya saing tinggi. Penyebabnya, UMKM harus mengeluarkan biaya tinggi saat produksi akibat kualitas infrastruktur masih rendah. “Pemerintah harus bisa menekan birokrasi yang tak perlu dan menekan biaya tak jelas,” imbuh dia.
Euis Saedah, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, menambahkan, UMKM juga masih lemah terhadap akses permodalan, hak kekayaan intelektual, deregulasi, dan fasilitas ekspor. Menurut dia, pemerintah maupun dunia usaha belum menyadari dampak pasar tunggal ASEAN terhadap perekonomian nasional. Saat MEA 2015 berlaku, jumlah penduduk Indonesia yang terbesar se-ASEAN jelas menjadi sasaran pemasaran berbagai barang, jasa, dan investasi. “Takutnya lagi, kita jadi malas memproduksi, lebih memilih memasarkan barang impor yang murah,” tutur Euis.
Tapi, siap tidak siap, dua tahun lagi MEA berlaku. Bagaimana pun pemerintah perlu membuat proteksi cantik untuk melindungi UMKM kita. Edy bilang, kita sudah punya aturan daftar negatif investasi (DNI) yang kuat dan lengkap. “Hak kita untuk melindungi UMKM dalam negeri,” katanya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 24 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News